Mungkin banyak / sebagian diantara kita yg tidak / belum mengetahui
tentang Makna filosofi dari sebuah Nasi Tumpeng yg sering kita jumpai
dalam keseharian kita sebagai umat Islam.
Sesuai dengan Fitrahnya,
kita manusia hanya bisa berupaya/berusaha untuk selalu menjalankan
segala PerintahNYA dan menjauhi segala LaranganNYA.
Dalam rangka
Usaha tersebutlah sebagai umat Islam; kita WAJIB setiap langkah kaki
kita mengikuti semua aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala
FirmanNYA didalam Al Qur’an dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Shalallahu Allaihi Wassalam.
Atas dasar hal tersebut diataslah, saya ingin sekedar berbagi tentang Makna Filosofi dari sebuah Nasi Tumpeng ini.
Banyak umat Islam khususnya di Jawa saat ini semakin tidak memahami
tata-cara, guna dan makna Nasi Tumpeng yang seharusnya dibuat secara
khusus beradasarkan aturan ketat. Itu sebabnya kehadiran Nasi Tumpeng
saat ini tidak ‘menghadirkan’ sesuatu apapun (kejadian yang diharapkan),
tanpa makna & sesuatu hal yang sia-sia.
Nasi Tumpeng
sesungguhnya adalah kitab ajaran umat Hindu yang diungkapkan melalui
bentuk makanan. Artinya, segala hal yang terdapat pada Nasi Tumpeng
tidak lagi berupa bahasa lisan ataupun bahasa tulisan tetapi lebih
merupakan “bahasa rupa bentuk” yang padat makna, dari cara pembuatan
hingga penyajian harus dilakukan sesuai aturan. Artinya, jika pola
tahapan pembuatan dilanggar maka sama dengan menghilangkan sebagian dari
mata rantai ‘mantra-mantra’ yang berisi ajaran.
Tanda-tanda yang
dilambangkan melalui peralatan memasak merupakan “peringatan” bahwa alam
(lingkung kehidupan) harus tetap terjaga, hal ini mengingatkan kepada
seluruh keturunan agar tetap waspada karena bangsa ini hidup di wilayah
gunung berapi, dalam istilah lain diumpamakan dengan BANGSA YANG
MENUNGGANGI NAGA API.
Makna tanda yang terkandung pada peralatan memasak adalah sebagai berikut;
api melambangkan matahari,
batu bata merah menandakan bumi,
dandang melambangkan gunung,
air melambangkan sumber kehidupan,
kukusan kerucut melambangkan kawah gunung berapi (yang terkandung),
kayu bakar melambangkan tumbuhan atau hutan,
dan nasi yang ada di dalamnya menandakan kesuburan dan kemakmuran.
Lambang pada perlengkapan Tumpeng:
Pengolahan Nasi Tumpeng hanya boleh dilakukan oleh kaum wanita dewasa
yang dalam keadaan bersih (tidak sedang menstruasi) dan telah mensucikan
diri, sedangkan kaum pria bertugas menyediakan beragam kebutuhannya.
Selama tahap pembuatan, wanita tersebut tidak boleh disentuh ataupun
berbicara dengan laki-laki. Hal ini tentu saja bukan tanpa maksud dan
tanpa makna. Nilai “wanita suci” yang terkandung di dalam tahap mengolah
tumpeng menceriterakan tentang sosok Ibu Pertiwi yang sedang menata
kehidupan di bumi, khususnya mengungkapkan tentang bagaimana ia menata
dan memberikan kesuburan, kemakmuran dan kejayaan kepada seluruh
putra-putri Ibu Pertiwi (bangsa).
Api pada tungku dinyalakan
bertepatan dengan terbitnya matahari pagi, hal ini merupakan perlambang
ungkapan rasa terima-kasih atas limpahan anugrah dari Sang Hyang Widhi
dalam mengawali kehidupan yang dipandu oleh waktu / cahaya. Melalui
lambang Hyang Widhi yang ada di langit (matahari) itulah segala
kehidupan di Bumi ini digerakan; binatang, tumbuhan, manusia, dan
sebagainya memulai kegiatan mereka sesuai fungsinya masing-masing.
Setelah dandang diletakan di atas tungku perapian, lalu wanita mulai
menata nyiru atau tampah berbentuk lingkaran terbuat dari anyaman bambu
yang akan digunakan sebagai alas Sangu Tumpeng. Nyiru adalah bentuk
perlambangan matahari atau sering disebut sebagai Sang Hyang Manon atau
Sang Hyang Tunggal.
Nyiru sebagai lambang Matahari
Bagian
tepi (pinggiran) nyiru diberi daun pisang manggala yang telah dibentuk
segi-tiga lalu dirangkai dan disambung dengan menggunakan tusuk terbuat
dari lidi pohon kawung. Susunan daun pisang manggala yang melingkar di
sekeliling nyiru adalah perlambang dari sinar matahari, dan arti
“manggala” sendiri adalah “yang menyampaikan hukum atau yang menguasai
aturan”, sedangkan istilah kawung menjadi perlambang dari kata “Sang
Suwung” (Hyang Maha Kuasa).
Nasi Tumpeng dalam pola tanda berupa gunung berwarna kuning merupakan lambang keagungan gunung Mahameru.
Maka dari itu, Nasi Tumpeng harus ditata berdasarkan pola cahaya,
segala yang diletakan di atas nyiru / tampah disusun berurutan mengikuti
putaran nilai waktu (cahaya) yang terbagi atas :
1. Purwa, menghadap (mengarah) ke Timur berisi ayam jantan (jenis ayam kampung).
2. Daksina, menghadap ke Selatan berisi unsur unsur-unsur pertanian dan
perkebunan seperti; sayuran segar (lalab), tomat, ketimun, dst.
3.
Pasima, menghadap ke Barat berisi makanan / masakan olahan tumbuhan
seperti; perkedel, sambal goreng kentang, goreng tempe, sambal goreng
terasi.
4. Utara, menghadap ke Utara berisi masakan olahan berdaging / satwa seperti; ikan mas, ikan asin, udang, teri, daging.
5. Madya, letaknya di pusat atau di tengah-tengah yaitu nasi kuning
berbentuk gunung dan di puncaknya diletakan telur ayam kampung sebagai
Cupumanik Astagina (Cupumanik Astra-Geni).
Pola susunan tersebut di
atas sesungguhnya mengajarkan dan memaparkan tentang mutu cahaya (waktu
dan kala / jaman) yang mempengaruhi kehidupan manusia, beserta tahap
perkembangan peradabannya.
Pola Arah Susunan Tumpeng
Dalam
gelar “kedewaan” (nilai cahaya / nilai waktu) kelima (5) “ruang dan
waktu” (arah dan warna / cahaya) itu disebut: Sang Hyang Siwa sebagai
Madya (pusat segala cahaya / segala warna), Sang Hyang Iswara sebagai
Purwa yang bercahaya putih, Sang Hyang Brahma sebagai Daksina yang
bercahaya merah, Sang Hyang Mahadewa sebagai Pasima bercahaya kuning,
Sang Hyang Wisnu sebagai Utara bercahaya hitam. Jelasnya dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Iswara / Purwa / Timur / Putih; merupakan
penanda pagi hari, namun sekaligus sebagai penanda awal peradaban
manusia, jaman para leluhur bangsa. Hal ini ditandai dengan keberadaan
“ayam” sebagai lambang “manusia awal kehidupan”.
2. Brahma / Daksina
/ Selatan / Merah; merupakan penanda siang hari, namun juga sebagai
penanda jaman beradab atau masa kejayaan (kemakmuran). Hal ini di tandai
oleh benda-benda pertanian dan perkebunan.
3. Mahadewa / Pasima /
Barat / Kuning; merupakan penanda senja hari (sore), tetapi juga sebagai
penanda menurunnya masa kejayaan atau lunturnya jaman kemakmuran. Hal
ini ditandai oleh bentuk makanan olahan yang tahan lama.
4. Wisnu /
Utara / Utara / Hitam; merupakan penanda malam hari, yang juga
menunjukan keruntuhan kejayaan manusia atau kehancuran peradaban manusia
untuk menyelamatkan kehidupan mahluk-mahluk lain (non-manusia) di Bumi.
Hal ini ditandai dengan masakan olahan (hewani).
5. Siwa / Madya /
Pusat / Tengah; adalah penanda penguasa waktu / era / jaman yang
mengembalikan segala kehidupan di Bumi seperti pada mulanya, jaman
sebelum manusia menguasai (merusak) planet Bumi. Penanda atas hal ini
adalah dengan adanya “telur” (Cupumanik Astagina) di puncak Nasi
Tumpeng.
Melihat segi pemaknaan pada susunan pola cahaya (kedewaan)
maka Nasi Tumpeng diberi warna “kuning” itu mengandung pengertian
“status jaman”, bahwa kehidupan di muka Bumi ini telah memasuki masa
menurunnya kejayaan atau lunturnya era kemakmuran. Namun akibat
ketidak-pahaman masyarakat jaman sekarang terhadap pola tanda ajaran
leluhur (Hindu), maka masyarakat modern beranggapan bahwa warna “kuning”
itu diumpamakan sebagai “emas” (lambang kejayaan) padahal nilai makna
tersebut kaitannya terlalu erat dengan nilai ekonomi bahkan mungkin
“kapitalisme” sedangkan Nasi Tumpeng secara mendasar lebih condong
mengarah kepada persoalan ruang, waktu dan kejadian.
Melihat situasi
dan kondisi kehidupan pada saat ini, maka bukan tidak mungkin jika Nasi
Tumpeng yang se-HARUS-nya dibuat di jaman sekarang adalah berwarna
“hitam” (dibuat dari beras hitam) sebagai penanda tiba masanya memasuki
jaman Wisnu / Utara / Hitam.
Wallahu ‘alam.
Semoga bermanfaat.
"Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rizki yang lebih baik daripada sabar," - Sayyidina Umar bin Khattab RA -
Rabu, 10 Desember 2014
Tumpeng dengan Makna dan Filosofinya part I
Nasi tumpeng, atau yang banyak dikenal
sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu warisan kebudayaan yang
sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik
yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika
memperingati momen dan peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng
ini pun di desa-desa maupun di kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat
di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah menyebar
ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke mancanegara seperti
Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama rijstafel).
Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh Indonesia
sudah memaklumi dan mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng
yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang
sifatnya filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna mendalam yang
mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan
sesama manusia.
Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak
dibarengi dengan makna filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan
kotak hadiah yang tampak cantik dari luar namun orang lupa menaruh
hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak
akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang kira-kira terjadi pada
tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu
artinya.Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat dengan makna sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.
TUMPENG
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.
Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu.
Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.
Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
MEMAKNAI TUMPENG
Hubungannya dengan Agama dan Ketuhanan
Bentuk tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata.
Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.
Konon alam semesta berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan Gunung Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000 kilometer. Puncak gunung ini dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. Konon katanya gunung ini berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh rangkaian lautan dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam semesta terdapat rangkaian pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki, yaitu Chakrawan dan Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal dewa-dewa. Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa Asta-Dikpalaka sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk jahat.(Stutley 1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam Munandar).
Orang-orang Jawa Kuno penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan membaca memperhatikan betul soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita memang tergolong suka beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar pastinya mengalami perubahan sesuai dengan daerah yang menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi atau dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena alasan politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya mengajari para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius di mata masyarakat (terutama di Jawa).
Di banyak kebudayaan gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani menganggap gunung Olympus sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo gunung Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak dibangun kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet dari puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.
Bagi orang-orang zaman dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi dan melampaui kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat dengan ‘langit’. Tak mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung meniru bentuk gunung. Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya memang berkaitan dengan konsep Mahameru.
Kembali ke masalah nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah warisan budaya nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.
Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut ini adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa tertentu kepada Sang Kuasa:
- Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si empunya hajat dikabulkan.
- Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah, seperti menyambut kehadiran anak.
- Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
- Tumpeng Among-among – bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk keselamatan anak cucu.
- Tumpeng Robyong – Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. Tumpeng robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan (tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
- Tumpeng Nujuh Bulan – Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang batu.
- Tumpeng Pungkur – digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
- Tumpeng Nasi Putih – warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
- Tumpeng Nasi Kuning – warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
- Tumpeng Nasi Uduk – Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
- Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya dengan Alam
Kehidupan orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Kebanyakan penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang berbeda-beda.
- Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
- Ayam: ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
- Hidangan laut. Dari lauk pauk wakil dari alam fauna, sepertinya lauk
yang mewakili unsur air yang banyak mengandung makna yang bisa
diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa dipastikan mewakili hewan
air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering digantikan dengan udang. Ada
tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk melengkapi jenis lauk-pauk yang
terdapat di dalam tumpeng:
- Ikan Lele: ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai. Menghadirkan ikan lele sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol ketabahan, keuletan dalam hidup, serta sanggup bertahan hidup dalam situasi ekonomi paling bawah sekalipun. Kebiasaan hidup lele juga diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar tidak sungkan meniti karier dari bawah.
- Ikan Bandeng: Ikan bandeng terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
- Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
- Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan kulitnya (tidak dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut (kulit telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan bahwa semua tindakan yang kita lakukan harus direncanakan(dikupas), dikerjakan sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi tercapainya kesempurnaan.
- Sayuran dan urab-uraban: Urap sayuran merupakan jenis menu yang umum
dipilih yang dapat mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak
dipilih begitu saja karena tiap sayur juga mengandung perlambang
tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
- Kangkung: Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
- Bayam: Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
- Taoge: Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak cucu.
- Kacang Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.
- Bawang merah (brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya dengan matang.
- Cabe merah: biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
- Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya.
- Bumbu urap yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Hubungannya dengan Sosial Kemasyarakatan
Puncak sebuah upacara dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masih memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong, barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).
Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung(Suratno dan Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.
Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.
Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara, namun harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap keluarga. Dimana pun kita berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.
PENUTUP
Jika dilihat secara keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
PUSTAKA
- http://startinspiration.blogspot.com/2011/04/asal-mula-nasi-tumpeng.html
- http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/06/filosofi-dan-asal-usul-nasi-tumpeng.html
- http:// bebekjalan.blogdetik.com/mengetahui-lebih-jauh-tentang-tumpeng/
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=204413946240199\
- http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng
FILOSOFI ALAT PERTANIAN
Sunan Kalijaga mengajar petani dengan filsafat luku dan pacul, semua
bagiannya mempunyai makna keagamaan yang dalam.Inilah cara wali
mengajarkan kepada wong tani dengan kearifan lokal,sesuai dengan
pengetahuan mereka.
Bagi wong tani, penemuan alat baru dibidang pertanian merupakan anugerah yang patut dipelajari dan diikuti. Sebab peralatan baru itu pasti memberikan fasilitas kemudahan bagi para petani untuk bekerja lebih efisien, yaitu mudah dan murah, tetapi dengan hasil yang banyak.Salah satunya adalah penemuan luku (bajak) dan pacul (cangkul), yang konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.
Soal penemuan bendanya bisa diperdebadkan, bisa saja kedua benda ini lebih dulu ditemukan sebelum lahirnya Sunan Kalijaga.Tetapi dalam hal ini, beliaulah yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai orang yang memberikan tafsir terhadap ajaran filsafat tentang luku dan pacul dengan segala maknanya.Dengan begitu, orang Jawa menganggap Sunan Kalijaga sebagai penemu luku dan pacul.
Sebelum ditemukan alat luku dan pacul ini, petani kuno menggunakan hewan, biasanya kerbau untuk menginjak-injak tanah sebelum ditanami benih padi. Hal seperti ini pernah terjadi ketika banyak petani Timor Timur pada tahun 1970-an yang belajar pertanian di pedesaan Jawa. Mereka menceritakan bahwa di daerahnya sebelum menggunakan luku dan pacul, mereka mengolah sawah menggunakan kerbau yang digiring atau berlari-lari di area sawah. Setelah terbajak, baru sawah tersebut ditanami benih padi. Begitu juga, mungkin yang dilakukan petani pada abad ke-15 sebelum ditemukan luku dan pacul.
Konon, dalam cerita rakyat itu, banyak petani di tanah Jawa yang kemudian ngangsu kaweruh (mencari ilmu) ke Demak, khususnya ke Kadilangu, tempat kediaman Sunan Kalijaga. Kanjeng Sunan memberikan penjelasan tentang fungsi kedua alat ini secara teknis, juga ditambahi dengan berbagai makna lambang filsafah dari bagian-bagian luku dan pacul. Ajaran-ajaran itu kemudian dituturkan kepada para petani secara turun temurun.
Ajaran Sunan Kalijaga tentang pertanian, khususnya tafsir terhadap alat luku dan pacul merupakan ajaran yang diikuti wong tani secara turun temurun. Tentang luku umpamanya, Kanjeng Sunan memberikan makna simbolis dan bagian-bagiannya yang mengandung ajaran-ajaran dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Luku mempunyai bagian-bagian tertentu yang saling berhubungan dan menyatu, sehingga menjadikan alat itu fungsional secara efisien dan efktif. Pertama, cekelan atau pegangan. Maksudnya, manusia hidup harus memiliki pegangan atau sebagai pedoman hidup. Bagi para murid Sunan kala itu, pedoman hidup itu adalah kepercayaan kepada Allah SWT dan mengikuti syariat Allah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yaitu agama Islam. Karena itulah, banyak petani Jawa yang kemudian beralih agama ke islam.
Kedua, pancadan atau tumpuan. Maksud simbol benda ini adalah amalan. Semua ilmu atau pengetahuan itu harus diamalkan.dalam ajaran agama islam, setiap orang yang telah mengetahui ilmu atau pengetahuan agama harus mengamalkannya. Ada anjuran pula, ”Sampaikanlah ilmu yang kamu dapat dari Al-Qur’an meski hanya satu ayat.” Jadi, pedoman hidup yang dimiliki itu harus diamalkan dan disampaikan kepada orang lain, sehingga kita tidak disebut jarkoni (bisa ngajar,ora bisa nglakoni).
Ketiga, tandhing atau pasak. Maksudnya adalah membanding-bandingkan. Disini bukan dalam arti iri dengki, melainkan ilmu perbandingan (komparasi) merupakan sarana bisa memutuskan secara tepat, apa pilihan yang terbaik dari berbagai macam pilihan yang ada. Kita memiliki pedoman hidup sendiri, tentu saja ada pedoman hidup lain diluar kita, maka pasti akan muncul perbandingan. Perbandingan inilah yang kemudian membuat orang Jawa yang pada waktu itu mengikuti ajaran-ajaran islam yang disampaikan Sunan Kalijaga, meninggalkan ajaran-ajaran atau pedoman hidup sebelumnya. Karena ajaran atau pedoman hidup yang baru itu ternyata lebih cocok dari pada pedoman sebelumnya.
Keempat, singkal atau alat pembalik tanah. Singkal ini diartikan secara singkat dengan makna sing sugih akal (kaya atau luas pemikirannya). Jadi, seorang petani tidak boleh lekas menyerah pada nasib atau fatalis, tetapi harus bekerja keras dan berpikir cerdas, kreatif untuk mengolah sawah dengan pengelolaan (manajemen) serta alat baru (inovasi), sehingga menghasilkan kerja yang lebih baik. Penemuan alat-alat baru di bidang pertanian saat ini, seperti benih unggul, pupuk,mesin-mesin pertanian dsb tidak lepas dari peran petani sendiri serta ilmuwan sing sugih akal. Begitu juga didalam kehidupan, selain tetap berpedoman pada agama, kita juga perlu menambah ilmu pengetahuan. Sebab, agama tanpa ilmu akan menjadi lumpuh, sebaliknya ilmu tanpa agama akan menjadi buta.
Kelima, kajen atau mata singkal. Kata ini berasal dari keijen, artinya menuju kepada yang satu.Yaitu, satunya pikiran, bulatnya tekad menuju satu tujuan atau cita-cita. Dalam bernegara, umpamanya bertujuan “baldhatun thoyyibatun warabbun ghafur” . (Negara yang makmur sejahtera dibawah naungan dan ampunan Allah), atau bahasa dalang, tata titi tentrem karta raharja ,gemah ripah loh jinawi.
Keenam, olang-aling atau penghalang. Dalam menempuh suatu tujuan atau cita-cita, pasti ada ujian atau halangan yang merintangi. Tuhan berfirman, orang yang beriman itu bukan orang yang tidak pernah diuji, orang yang beriman dan dicintai Allah justru orang-orang yang banyak ujiannya. Ujian, kendala atau rintangan selalu ada di hadapan perjalanan hidup manusia. Karena itulah manusia diwajibkan berikhtiar, berusaha dan harus sing sugih akal. Manusia tidak boleh menyerah kepada nasib, thenguk-thenguk nemu kethuk. Berharap sesuatu tanpa kerja. Kita bisa mengatakan sugih tanpa bhanda, kaya tanpa harta. Tetapi kita tidak bisa mengatakan ”kaya tanpa kerja” sebab ujian kaya adalah bekerja. Intinya, bagaimana wong tani tersebut menghadapi setiap peluang itu menjadi keuntungan, dan akhirnya keuntungan itu menjadi keagungan di dunia akhirat.
Bagian yang terakhir, racuk atau ujung luku. Diambil dari kata arah pucuk, yaitu arah depan dan atas. Artinya, setiap menghadapi penghalang tadi, kita harus sabar, tawakal, dan ikhlas, kendati tidak pernah melepaskan apa yang sedang menjadi cita-cita kita.
Dalam tulisan di atas,Sunan Kalijaga dianggap sebagai penemu luku, yang memaknai simbol-simbol alat bajak itu sebagai ajaran hidup bagi wong tani. Begitu juga Kanjeng Sunan dipercayai sebagai penemu pacul dan luku.
Penemuan alat pacul yang dinisbahkan kepada Sunan Kalijaga masih diperdebatkan, tetapi pengakuan ini didasarkan seperti pada kasus wayang kulit. Cerita wayang serta peraganya sudah lama ditemukan orang Jawa, tetapi Sunan Kalijaga mampu membesut cerita wayang ini menjadi bernapas islam serta dengan penampilan yang baru dan falsafah baru, sehingga beliaulah yang dianggap penemu wayang kulit.
Begitulah, bisa jadi pacul sudah lama ditemukan sebelum Sunan Kalijaga, tetapi makna simbolis pacul, sehingga memuat ajaran agung adalah hasil kreatifitas Sunan Kalijaga. Sudah menjadi strategi dakwah Sunan Kalijaga bahwa beliau menggunakan cara tapa ngeli. Ngeli tapi ora keli. Maksudnya tetap mengikuti ombak kehidupan masyarakat, tetapi beliau memberikan makna baru kepada arus zaman itu.
Begitulah, Islam diajarkan lewat perlambang alat-alat pertanian. Dengan begitu, mereka akan lebih dekat pengertiannya terhadap agama Islam.Kanjeng Sunan sadar, agama Islam datang dari negeri Arab, kitabnya juga memakai bahasa Arab, shalatnya juga memakai bahasa Arab. Itu mungkin sangat menyulitkan pengikut baru yang sebelumnya sudah biasa dengan ajaran lama menggunakan bahasa Jawa. Dalam kaidah islam, prinsip itu “Tetap mengikuti tradisi lama yang baik, tetapi akan memakai tradisi baru kalau tradisi itu terbukti lebih baik lagi,”
Karena itulah, ketika menjadi mubaligh keliling, sehingga mendapat gelar Sunan Malaya, Kanjeng Sunan harus menggunakan berbagai cara, sehingga rakyat paham apa itu Islam, dengan tidak mencabut budaya lama yang telah mereka terapkan. Ini terbukti, tidak hanya luku dan pacul yang diberikan makna filosofi kehidupan, tetapi benda-benda lain juga diberikan makna yang selaras dengan pengertian masyarakat.
Kentongan umpamanya. Oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, suara kentongan itu diberi makna tertentu. Suara”tong tong tong” artinya, ”Hai masjidnya masih kosong !! . Karena itu, kalau mendengar kentongan, lekas datang ke masjid atau mushala. Lebih lanjut lagi kentongan sekarang bertambah fungsi menjadi alat ronda di pedesaan.
Bagi wong tani, penemuan alat baru dibidang pertanian merupakan anugerah yang patut dipelajari dan diikuti. Sebab peralatan baru itu pasti memberikan fasilitas kemudahan bagi para petani untuk bekerja lebih efisien, yaitu mudah dan murah, tetapi dengan hasil yang banyak.Salah satunya adalah penemuan luku (bajak) dan pacul (cangkul), yang konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.
Soal penemuan bendanya bisa diperdebadkan, bisa saja kedua benda ini lebih dulu ditemukan sebelum lahirnya Sunan Kalijaga.Tetapi dalam hal ini, beliaulah yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai orang yang memberikan tafsir terhadap ajaran filsafat tentang luku dan pacul dengan segala maknanya.Dengan begitu, orang Jawa menganggap Sunan Kalijaga sebagai penemu luku dan pacul.
Sebelum ditemukan alat luku dan pacul ini, petani kuno menggunakan hewan, biasanya kerbau untuk menginjak-injak tanah sebelum ditanami benih padi. Hal seperti ini pernah terjadi ketika banyak petani Timor Timur pada tahun 1970-an yang belajar pertanian di pedesaan Jawa. Mereka menceritakan bahwa di daerahnya sebelum menggunakan luku dan pacul, mereka mengolah sawah menggunakan kerbau yang digiring atau berlari-lari di area sawah. Setelah terbajak, baru sawah tersebut ditanami benih padi. Begitu juga, mungkin yang dilakukan petani pada abad ke-15 sebelum ditemukan luku dan pacul.
Konon, dalam cerita rakyat itu, banyak petani di tanah Jawa yang kemudian ngangsu kaweruh (mencari ilmu) ke Demak, khususnya ke Kadilangu, tempat kediaman Sunan Kalijaga. Kanjeng Sunan memberikan penjelasan tentang fungsi kedua alat ini secara teknis, juga ditambahi dengan berbagai makna lambang filsafah dari bagian-bagian luku dan pacul. Ajaran-ajaran itu kemudian dituturkan kepada para petani secara turun temurun.
Ajaran Sunan Kalijaga tentang pertanian, khususnya tafsir terhadap alat luku dan pacul merupakan ajaran yang diikuti wong tani secara turun temurun. Tentang luku umpamanya, Kanjeng Sunan memberikan makna simbolis dan bagian-bagiannya yang mengandung ajaran-ajaran dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Luku mempunyai bagian-bagian tertentu yang saling berhubungan dan menyatu, sehingga menjadikan alat itu fungsional secara efisien dan efktif. Pertama, cekelan atau pegangan. Maksudnya, manusia hidup harus memiliki pegangan atau sebagai pedoman hidup. Bagi para murid Sunan kala itu, pedoman hidup itu adalah kepercayaan kepada Allah SWT dan mengikuti syariat Allah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yaitu agama Islam. Karena itulah, banyak petani Jawa yang kemudian beralih agama ke islam.
Kedua, pancadan atau tumpuan. Maksud simbol benda ini adalah amalan. Semua ilmu atau pengetahuan itu harus diamalkan.dalam ajaran agama islam, setiap orang yang telah mengetahui ilmu atau pengetahuan agama harus mengamalkannya. Ada anjuran pula, ”Sampaikanlah ilmu yang kamu dapat dari Al-Qur’an meski hanya satu ayat.” Jadi, pedoman hidup yang dimiliki itu harus diamalkan dan disampaikan kepada orang lain, sehingga kita tidak disebut jarkoni (bisa ngajar,ora bisa nglakoni).
Ketiga, tandhing atau pasak. Maksudnya adalah membanding-bandingkan. Disini bukan dalam arti iri dengki, melainkan ilmu perbandingan (komparasi) merupakan sarana bisa memutuskan secara tepat, apa pilihan yang terbaik dari berbagai macam pilihan yang ada. Kita memiliki pedoman hidup sendiri, tentu saja ada pedoman hidup lain diluar kita, maka pasti akan muncul perbandingan. Perbandingan inilah yang kemudian membuat orang Jawa yang pada waktu itu mengikuti ajaran-ajaran islam yang disampaikan Sunan Kalijaga, meninggalkan ajaran-ajaran atau pedoman hidup sebelumnya. Karena ajaran atau pedoman hidup yang baru itu ternyata lebih cocok dari pada pedoman sebelumnya.
Keempat, singkal atau alat pembalik tanah. Singkal ini diartikan secara singkat dengan makna sing sugih akal (kaya atau luas pemikirannya). Jadi, seorang petani tidak boleh lekas menyerah pada nasib atau fatalis, tetapi harus bekerja keras dan berpikir cerdas, kreatif untuk mengolah sawah dengan pengelolaan (manajemen) serta alat baru (inovasi), sehingga menghasilkan kerja yang lebih baik. Penemuan alat-alat baru di bidang pertanian saat ini, seperti benih unggul, pupuk,mesin-mesin pertanian dsb tidak lepas dari peran petani sendiri serta ilmuwan sing sugih akal. Begitu juga didalam kehidupan, selain tetap berpedoman pada agama, kita juga perlu menambah ilmu pengetahuan. Sebab, agama tanpa ilmu akan menjadi lumpuh, sebaliknya ilmu tanpa agama akan menjadi buta.
Kelima, kajen atau mata singkal. Kata ini berasal dari keijen, artinya menuju kepada yang satu.Yaitu, satunya pikiran, bulatnya tekad menuju satu tujuan atau cita-cita. Dalam bernegara, umpamanya bertujuan “baldhatun thoyyibatun warabbun ghafur” . (Negara yang makmur sejahtera dibawah naungan dan ampunan Allah), atau bahasa dalang, tata titi tentrem karta raharja ,gemah ripah loh jinawi.
Keenam, olang-aling atau penghalang. Dalam menempuh suatu tujuan atau cita-cita, pasti ada ujian atau halangan yang merintangi. Tuhan berfirman, orang yang beriman itu bukan orang yang tidak pernah diuji, orang yang beriman dan dicintai Allah justru orang-orang yang banyak ujiannya. Ujian, kendala atau rintangan selalu ada di hadapan perjalanan hidup manusia. Karena itulah manusia diwajibkan berikhtiar, berusaha dan harus sing sugih akal. Manusia tidak boleh menyerah kepada nasib, thenguk-thenguk nemu kethuk. Berharap sesuatu tanpa kerja. Kita bisa mengatakan sugih tanpa bhanda, kaya tanpa harta. Tetapi kita tidak bisa mengatakan ”kaya tanpa kerja” sebab ujian kaya adalah bekerja. Intinya, bagaimana wong tani tersebut menghadapi setiap peluang itu menjadi keuntungan, dan akhirnya keuntungan itu menjadi keagungan di dunia akhirat.
Bagian yang terakhir, racuk atau ujung luku. Diambil dari kata arah pucuk, yaitu arah depan dan atas. Artinya, setiap menghadapi penghalang tadi, kita harus sabar, tawakal, dan ikhlas, kendati tidak pernah melepaskan apa yang sedang menjadi cita-cita kita.
Dalam tulisan di atas,Sunan Kalijaga dianggap sebagai penemu luku, yang memaknai simbol-simbol alat bajak itu sebagai ajaran hidup bagi wong tani. Begitu juga Kanjeng Sunan dipercayai sebagai penemu pacul dan luku.
Penemuan alat pacul yang dinisbahkan kepada Sunan Kalijaga masih diperdebatkan, tetapi pengakuan ini didasarkan seperti pada kasus wayang kulit. Cerita wayang serta peraganya sudah lama ditemukan orang Jawa, tetapi Sunan Kalijaga mampu membesut cerita wayang ini menjadi bernapas islam serta dengan penampilan yang baru dan falsafah baru, sehingga beliaulah yang dianggap penemu wayang kulit.
Begitulah, bisa jadi pacul sudah lama ditemukan sebelum Sunan Kalijaga, tetapi makna simbolis pacul, sehingga memuat ajaran agung adalah hasil kreatifitas Sunan Kalijaga. Sudah menjadi strategi dakwah Sunan Kalijaga bahwa beliau menggunakan cara tapa ngeli. Ngeli tapi ora keli. Maksudnya tetap mengikuti ombak kehidupan masyarakat, tetapi beliau memberikan makna baru kepada arus zaman itu.
Begitulah, Islam diajarkan lewat perlambang alat-alat pertanian. Dengan begitu, mereka akan lebih dekat pengertiannya terhadap agama Islam.Kanjeng Sunan sadar, agama Islam datang dari negeri Arab, kitabnya juga memakai bahasa Arab, shalatnya juga memakai bahasa Arab. Itu mungkin sangat menyulitkan pengikut baru yang sebelumnya sudah biasa dengan ajaran lama menggunakan bahasa Jawa. Dalam kaidah islam, prinsip itu “Tetap mengikuti tradisi lama yang baik, tetapi akan memakai tradisi baru kalau tradisi itu terbukti lebih baik lagi,”
Karena itulah, ketika menjadi mubaligh keliling, sehingga mendapat gelar Sunan Malaya, Kanjeng Sunan harus menggunakan berbagai cara, sehingga rakyat paham apa itu Islam, dengan tidak mencabut budaya lama yang telah mereka terapkan. Ini terbukti, tidak hanya luku dan pacul yang diberikan makna filosofi kehidupan, tetapi benda-benda lain juga diberikan makna yang selaras dengan pengertian masyarakat.
Kentongan umpamanya. Oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, suara kentongan itu diberi makna tertentu. Suara”tong tong tong” artinya, ”Hai masjidnya masih kosong !! . Karena itu, kalau mendengar kentongan, lekas datang ke masjid atau mushala. Lebih lanjut lagi kentongan sekarang bertambah fungsi menjadi alat ronda di pedesaan.
*) Oleh: ki puser langit |
Lirik Lagu Dolanan
SLUKU-SLUKU BATHOK
Sluku-sluku bathok,bathoke ela-elo,
siromo menyang solo, oleh-olehe payung montho,
mak jenthit lo-lo lobah, wong mati ora obah,
yen obah medeni bocah...
CUBLAK-CUBLAK SUWENG
cublak cublak suweng.. suwenge ting gelenter..
mambu ketundung gudel
pak empong lera-lere
sopo ngguyu ndelikkake
sir-sir pong dhele gosong
sir sir pong dhele gosong
PADANG MBULAN
Yo, poro konco dolanan ning jobo
Padang mbulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelingake ojo podo turu sore
GOTRI LEGENDRI
Gotri legendri nogosari
Tiwul owal awul jadah mentul
Tolen olen olen jadah manten
Titenono sesok gedhe dadi opo
JAMURAN
Jamuran... jamuran...ya ge ge thok...
jamur apa ya ge ge thok...
Jamur payung, ngrembuyung kaya lembayung,
sira badhe jamur apa?
KODOK NGOREK
Kodok ngorek kodok ngorek ngorek pinggir kali
teyot teblung teyot teblungteyot teyot teblung
Bocah pinter bocah pinter besuk dadi dokter
bocah bodho bocah bodho besuk kaya kebo
KIDANG TALUN
Kidang talun
mangan gedang talun
mil kethemil...mil kethemil...
si kidang mangan lembayung
DHONDHONG OPO SALAK
dhondhong apa salak dhuku cilik cilik
gendong apa mbecak mlaku thimik thimik
adhik ndherek ibu tindak menyang pasar
ora pareng rewel ora pareng nakal
mengko ibu mesthi mundhut oleh-oleh
kacang karo roti adhik diparingi
PITIK TUKUNG
Aku duwe pitik, pitik tukung..
saben dina, tak pakani jagung
petok gogok petok petok ngendhog siji,
tak teteske...kabeh trondhol..dhol..dhol..
tanpa wulu..megal-megol.. gol.. gol.. gawe guyu...
KATE DIPANAH
Te kate dipanah
dipanah ngisor gelagah
ana manuk onde-onde
mbok sirbombbrok, mbok si kate mbok sirbombbrok,
mbok si kate mbok sirbombbrok, mbok si kate
JARANAN
jaranan-jaranan... jarane jaran teji
sing numpak ndara bei
sing ngiring para mantri
jeg jeg nong..jeg jeg gung
prok prok turut lurung
gedebug krincing gedebug krincing
prok prok gedebug jedher
LIR ILIR
Lir ilir, lir ilir, tandure wus sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu yo peneken kanggo mbasuh dodo tiro
dodo tiro kumitir bedah ing pinggir
Dondomana j'rumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane.yo surako surak hiyo.
GUNDHUL-GUNDHUL PACUL
Gundhul gundhul pacul cul, gembelengan
nyunggi nyunggi wakul kul, petentengan
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
MENTHOK-MENTHOK
Menthok, menthok, tak kandani mung lakumu,
angisin-isini mbok yo ojo ngetok,
ono kandhang wae enak-enak ngorok,
ora nyambut gawe
menthok, menthok ...
mung lakukumu megal megol gawe guyu
GAMBANG SULING
Gambang suling, ngumandhang swarane
tulat tulit, kepenak unine
uuuunine.. mung..nreyuhake ba-
reng lan kentrung ke-
tipung suling, sigrak kendhangane
SUWE ORA JAMU
Suwe ora jamu
jamu godong tela
suwe ora ketemu
ketemu pisan gawe gela
TAK LELO LELO LEDUNG
tak lelo lelo lelo ledung...
cup menenga aja pijer nangis
anakku sing ayu rupane
nek nangis ndak ilang ayune
tak gadang bisa urip mulyo
dadiyo wanita utomo
ngluhurke asmane wong tua
dadiyo pendekaring bangsa
cup menenga anakku
kae bulane ndadarikaya ndas butho nggilani
agi nggoleki cah nangis
tak lelo lelo lelo ledung
cup menenga anakku cah ayu
tak emban slendang batik kawung
yen nangis mudak gawe bingung
tak lelo lelo ledung..
Read more: http://mengenalbudayajawa.blogspot.com/2012/11/lirik-lagu-dolanan.html#ixzz2ygSsvVDB
Sluku-sluku bathok,bathoke ela-elo,
siromo menyang solo, oleh-olehe payung montho,
mak jenthit lo-lo lobah, wong mati ora obah,
yen obah medeni bocah...
CUBLAK-CUBLAK SUWENG
cublak cublak suweng.. suwenge ting gelenter..
mambu ketundung gudel
pak empong lera-lere
sopo ngguyu ndelikkake
sir-sir pong dhele gosong
sir sir pong dhele gosong
PADANG MBULAN
Yo, poro konco dolanan ning jobo
Padang mbulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelingake ojo podo turu sore
GOTRI LEGENDRI
Gotri legendri nogosari
Tiwul owal awul jadah mentul
Tolen olen olen jadah manten
Titenono sesok gedhe dadi opo
JAMURAN
Jamuran... jamuran...ya ge ge thok...
jamur apa ya ge ge thok...
Jamur payung, ngrembuyung kaya lembayung,
sira badhe jamur apa?
KODOK NGOREK
Kodok ngorek kodok ngorek ngorek pinggir kali
teyot teblung teyot teblungteyot teyot teblung
Bocah pinter bocah pinter besuk dadi dokter
bocah bodho bocah bodho besuk kaya kebo
KIDANG TALUN
Kidang talun
mangan gedang talun
mil kethemil...mil kethemil...
si kidang mangan lembayung
DHONDHONG OPO SALAK
dhondhong apa salak dhuku cilik cilik
gendong apa mbecak mlaku thimik thimik
adhik ndherek ibu tindak menyang pasar
ora pareng rewel ora pareng nakal
mengko ibu mesthi mundhut oleh-oleh
kacang karo roti adhik diparingi
PITIK TUKUNG
Aku duwe pitik, pitik tukung..
saben dina, tak pakani jagung
petok gogok petok petok ngendhog siji,
tak teteske...kabeh trondhol..dhol..dhol..
tanpa wulu..megal-megol.. gol.. gol.. gawe guyu...
KATE DIPANAH
Te kate dipanah
dipanah ngisor gelagah
ana manuk onde-onde
mbok sirbombbrok, mbok si kate mbok sirbombbrok,
mbok si kate mbok sirbombbrok, mbok si kate
JARANAN
jaranan-jaranan... jarane jaran teji
sing numpak ndara bei
sing ngiring para mantri
jeg jeg nong..jeg jeg gung
prok prok turut lurung
gedebug krincing gedebug krincing
prok prok gedebug jedher
LIR ILIR
Lir ilir, lir ilir, tandure wus sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu yo peneken kanggo mbasuh dodo tiro
dodo tiro kumitir bedah ing pinggir
Dondomana j'rumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane.yo surako surak hiyo.
GUNDHUL-GUNDHUL PACUL
Gundhul gundhul pacul cul, gembelengan
nyunggi nyunggi wakul kul, petentengan
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
MENTHOK-MENTHOK
Menthok, menthok, tak kandani mung lakumu,
angisin-isini mbok yo ojo ngetok,
ono kandhang wae enak-enak ngorok,
ora nyambut gawe
menthok, menthok ...
mung lakukumu megal megol gawe guyu
GAMBANG SULING
Gambang suling, ngumandhang swarane
tulat tulit, kepenak unine
uuuunine.. mung..nreyuhake ba-
reng lan kentrung ke-
tipung suling, sigrak kendhangane
SUWE ORA JAMU
Suwe ora jamu
jamu godong tela
suwe ora ketemu
ketemu pisan gawe gela
TAK LELO LELO LEDUNG
tak lelo lelo lelo ledung...
cup menenga aja pijer nangis
anakku sing ayu rupane
nek nangis ndak ilang ayune
tak gadang bisa urip mulyo
dadiyo wanita utomo
ngluhurke asmane wong tua
dadiyo pendekaring bangsa
cup menenga anakku
kae bulane ndadarikaya ndas butho nggilani
agi nggoleki cah nangis
tak lelo lelo lelo ledung
cup menenga anakku cah ayu
tak emban slendang batik kawung
yen nangis mudak gawe bingung
tak lelo lelo ledung..
Read more: http://mengenalbudayajawa.blogspot.com/2012/11/lirik-lagu-dolanan.html#ixzz2ygSsvVDB
Selasa, 09 Desember 2014
Mitoni : Ritual Untuk Tujuh Bulan Kehamilan
Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa atau sabtu. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).
PERSYARATAN :
1. Bubur 7 macam :
Kombinasi
7 macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi putih,
(4) putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah
disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan
kelapa dan sisiran gula jawa).
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga.
Bahan: Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula jawa); Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;
2. Gudangan Mateng (sayurnya direbus) :
Bahan
; Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang
panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran
direbus.
Bumbu gudangannya pedas.
3. Nasi Megono ; Nasi dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.
4. Jajan Pasar ; biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.
5. Rujak ; bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6. Ampyang ; ampyang kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7. Aneka Ragam Kolo ;
Kolo
kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo
merambat (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela,
pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing
jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja.
Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang tanah.
Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ;
yakni cangelo; kacang tanah + ketela (ubi jalar).
8. Ketan ; dikukus lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau, coklat, kuning.
9. Tumpeng nasi putih; kira-kira cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang.
10. Telur ; telur ayam 7 butir.
11. Pisang ; pisang raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.
12. Tumpeng tujuh macam warna; tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai.
TATA CARA
Tumpeng ditaruh di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya tumpeng dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang. Sisa potongan daun pisang diletakkan di antara cobek dan pantat kalo.
Sayur
7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu
gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung
atau ayam petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan
mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk
tumpeng dikasih sate yang berisi ; cabe merah, bawang merah,
telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal.
(urutan ini dari bawah ke atas; lihat gambar).
Tusuk
satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari
bawah; cabe merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur
kupas utuh, bawang merah lagi, paling atas cabe merah besar posisi
vertikal.
Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.
Tambirnya juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.
Tumpeng
tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar.
Boleh diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.
Setelah
ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh
dengan tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan
toleransi dalam ajaran Jawa.
Berikut ini contoh doa menurut tradisi Jawa;
Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu);
“Niat
ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing
sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul
dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen
lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka
kersaning Gusti Allah.
Apabila
orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan
surat Maryam atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan
hati nurani. Jika feeling anda ingin membaca surat Maryam,
biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca surat Yusuf,
biasanya jabang bayi lahir laki-laki.
Dalam
tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi.
Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila
tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.
Akan
tetapi karna teknologi medis sudah sedemikian canggih, sampai ditemukan
USG empat dimensi, jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.
Acara
mitoni atau tingkeban yang dipaparkan di atas adalah tatacara
sederhana. Akan tetapi bukan berarti tidak absah, hanya tidak lengkap
saja. Sedangkan tatacara yang lengkap yang biasanya masih dilakukan di
kraton-kraton dan masyarakat Jawa yang masih kuat memegang tradisi.
Rangkaian acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu;
1. Siraman ( pemandian calon ibu)
2. Pendandanan calon ibu
3. Angreman
Tempat, berbagai barang/ubarampe termasuk sesaji, hendaknya sudah tersedia lengkap
Upacara Siraman
Biasanya pelaksanaan siraman diadakan dikamar mandi atau ditempat khusus yang dibuat untuk siraman, dihalaman belakang atau samping rumah. Siraman
berasal dari kata siram artinya mandi. Pada saat mitoni adalah
pemandian untuk sesuci lahir batin bagi calon ibu/orang tua beserta bayi
dalam kandungan. Yang baku, di tempat siraman ada bak/tempat air yang
telah diisi air yang berasal dari tujuh sumber air yang dicampur dengan
bunga sritaman, yang terdiri dari mawar,melati, kenanga dan
kantil. Dipagi hari atau sore hari yang cerah, ada terdengar alunan
suara gamelan yang semarak, mengiringi pelaksaan siraman.
Didepan
tempat siraman yang disusun apik, duduk calon kakek, calon nenek dan
ibu-ibu yang akan ikut memandikan.Mereka semua berpakaian tradisional
Jawa, bagus, rapi. Tentu saja sisaksikan oleh para undangan yang hadir
untuk menyaksikan dan memberi restu kepada calon ibu. Calon ibu dengan
berpakaian kain putih yang praktis, tanpa mengenakan asesoris seperti
gelang, kalung, subang dsb, datang ketempat siraman dengan diiringi oleh
beberapa ibu. Dia langsung didudukkan diatas sebuah kursi yang dialasi
dan dihias dengan sebuah tikar tua, maksudnya orang wajib bekerja sesuai
kemampuannya dan dedauanan seperti : opok-opok, alang-alang, oro-oro, dadap srep, awar-awar yang melambangkan keselamatan dan daun kluwih sebagai perlambang kehidupan yang makmur.
Orang
pertama yang mendapat kehormatan untuk memandikan adalah calon kakek,
kemudian calon nenek dan disusul oleh beberapa ibu yang sudah punya
cucu. Sesuai kebiasaan, jumlah yang memandikan adalah tujuh orang.
Diambil perlambang positifnya, yaitu tujuh, bahasa Jawanya pitu, supaya memberi pitulungan, pertolongan.
Sesudah
selesai dimandikan dengan diguyur air suci, terakhir dikucuri air suci
dari sebuah kendi sampai airnya habis. Kendi yang kosong dibanting
ketanah. Dilihat bagaimana pecahnya. Kalau paruh atau corot kendi tidak
pecah, hadirin ramai-ramai berteriak : Lanang! Artinya bayi yang akan lahir laki-laki. Apabila pecah, yang akan lahir wadon, perempuan.
Perlu diketahui bahwa suasana selama pelaksanaan siraman adalah sakral tetapi riang.
Pada
masa kini, upacara siraman dipandu oleh seorang ibu yang profesional
dalam bidangnya, disertai seorang M.C. sehingga upacara berjalan runut, lancar dan bagus.
Peluncuran tropong
Ada kalanya, sesudah selesai pecah kendi, sebuah tropong,
alat tenun dari kayu diluncurkan kedalam kain tekstil yang mempunyai
tujuh warna. Ini perlambang kelahiran bayi dengan lancar dan selamat.
Peluncuran tropong, pada masa kini jarang sekali dilakukan.
Siraman gaya Mataraman
Siraman
gaya Mataraman atau Yogyakarta kuno, sekarang boleh dibilang tidak
dilakukan lagi. Pada siraman tersebut yang dimandikan tidak hanya calon
ibu, tetapi jugas calon ayah, secara berbarengan.
Pendandanan calon ibu
Di
sebuah ruangan yang telah disiapkan untuk upacara pendandanan, beberapa
ibu dengan disaksikan hadirin, mendandani calon ibu dengan beberapa
motif kain batik dan lurik. Ada 6 (enam) motif kain batik, antara lain
motif kesatrian, melambangkan sikap satria; wahyu tumurun, yaitu wahyu yang menurunkan kehidupan mulia, sidomukti, maksudnya hidup makmur, sidoluhur-berbudi luhur dsb.
Satu per satu kain batik itu dikenakan, tetapi tidak ada yang sreg, sesuai. Lalu yang ketujuh dikenakan kain lurik bermotif lasem, dengan semangat para hadirin berseru : Ya, ini cocok! Lurik adalah bahan yang sederhana tetapi kuat, motif lasem mewujudkan perajutan kasih yang bahagia, tahan lama. Begitulah perlambang positif dari upacara pendandanan.
Lurik
yang dikenakan calon ibu tersebut diikat dengan tali yang terdiri dari
benang dan anyaman daun kelapa. Tali itu dipotong oleh calon ayah dengan
menggunakan sebilah keris yang ujungnya ditutup kunyit. Ini perlambang
bahwa semua kesulitan yang dihadapi keluarga, akan diatasi oleh sang
ayah.
Sesudah
memotong tali, sang ayah mengambil tiga langkah kebelakang, membalikkan
badan dan lari keluar. Ini melambangkan kelahiran yang lancar dan
selamat, bagi bayi dan ibu.
Brojolan
Dua buah kelapa gading diluncurkan kedalam kain lurik yang dipakai calon ibu. Kedua kelapa tersebut jatuh diatas tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan kelahiran yang lancar dan selamat. Kedua buah kelapa gading itu diukir dengan gambar Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, sepasang dewa dewi yang cantik, bagus rupanya dan baik hatinya. Artinya tokoh, figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam menjalani kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur dan mapan lahir batin.
Dua buah kelapa gading diluncurkan kedalam kain lurik yang dipakai calon ibu. Kedua kelapa tersebut jatuh diatas tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan kelahiran yang lancar dan selamat. Kedua buah kelapa gading itu diukir dengan gambar Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, sepasang dewa dewi yang cantik, bagus rupanya dan baik hatinya. Artinya tokoh, figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam menjalani kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur dan mapan lahir batin.
Calon
ayah mengambil salah satu kelapa tersebut dan memecahnya dengan
menggunakan golok. Kalau kelapa itu pecah jadi dua, hadirin berseru : Wadon, perempuan. Kalau kelapa itu airnya menyembur keluar, hadirin berteriak riang : Lanang,
lelaki. Anak yang dilahirkan putra atau putri, sama saja, tetap akan
diasuh, dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih dan tanggung
jawab. Kelapa yang satunya, yang masih utuh, diambil, lalu dengan
diemban oleh calon nenek, ditaruh ditempat tidur calon orang tua.
Angreman
Angreman
dari kata angrem artinya mengerami telur. Calon orang tua duduk diatas
tumpukan kain yang tadi dipakai, seolah mengerami telur, menunggu waktu
sampai bayinya lahir dengan sehat selamat. Mereka mengambil beberapa
macam makanan dari sesaji dan ditaruh disebuah cobek. Mereka makan bersama sampai habis. Cobek itu menggambarkan ari-ari bayi.
Perlu diperhatikan bahwa untuk ritual angreman
gaya Yogyakarta, sesajinya tidak ada yang berupa daging binatang yang
dipotong. Ini memperkuat doa kedua calon orang tua supaya bayi mereka
lahir dengan selamat.
Kelapa
dan tumpukan kain-kain itu berada diatas tempat tidur kedua calon
orang tua. Ini latihan kesabaran bagi keduanya sewaktu menjaga dan
merawat bayi.
Dipagi harinya, calon ayah memecah kelapa tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi kalau dipagi hari ada seorang wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa itu harus diberikan. Lalu wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Hal ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan.
Dipagi harinya, calon ayah memecah kelapa tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi kalau dipagi hari ada seorang wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa itu harus diberikan. Lalu wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Hal ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan.
Asal usul Mitoni atau Tingkeban
Ritual mitoni atau tingkeban telah ada sejak zaman kuno. Menurut penuturan yang diceritakan secara turun temurun, asal usulnya sebagai berikut :
Sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Satingkeb,
pernah punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur
panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak orang pintar, dukun,
tetapi belum juga berhasil. Karena sudah tak tahan lagi mengahadapi
derita berat dan panjang, kedua suami istri itu memberanikan diri
memohon pertolongan dari Jayabaya, sang ratu yang terkenal sakti dan
bijak. Raja Jayabaya yang bijak dan yang sangat dekat dengan rakyatnya,
dengan senang hati memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita.
Beginilah sikap ratu masa dahulu.
Kedua suami istri, dinasihati supaya melakukan ritual, caranya : Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti Allah, selalu berbuat yang baik dan suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus mensucikan diri, manembah kepada Allah, dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir batin. Sesudah itu memohon kepada Gusti
Allah, apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan
kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk
penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah Gusti Allah.
Rupanya, Allah memperkenankan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban.*) semoga bermanfaat .....
# Oleh: ki puser langit JAVANESE TRADITION
MAKNA FILOSOFI DARI LAGU GUNDUL-GUNDUL PACUL
Ternyata lagu gundul-gundul pacul mempunyai filosofi yang cukup mendalam, Lagu Gundul Gundul Pacul ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.
'Gundul' adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. jadi 'gundul' adalah kehormatan tanpa mahkota.
'Pacul' adalah cangkul (jawa) yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. jadi pacul adalah lambang kawula rendah, kebanyakan petani.
'Gundul Pacul' artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul utk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya/orang banyak.
Orang Jawa mengatakan pacul adalah 'Papat Kang Ucul' (4 yang lepas). Kemuliaan seseorang tergantung 4 hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya, dengan makna sbb:
1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat/masyarakat.
2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata adil.
Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. 'Gembelengan' artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Arti harafiahnya jika orang yg kepalanya sudah kehilangan 4 indera itu mengakibatkan hal-hal sbb:
1. GEMBELENGAN (congkak/sombong).
2. NYUNGGI-NYUNGGI WAKUL (menjunjung amanah rakyat / orang banyak).
3. GEMBELENGAN ( sombong hati).
4. WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh gak bisa dipertahankan).
5. SEGANE DADI SAK LATAR (berantakan sia sia, tidak bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak)
Cukup dalem banget yah makna dan penjabaran dari lagu ini, patut untuk kita jaga dan lestarikan ke anak cucu sebagai warisan budaya lagu jawa. :))
Sumber : http://on.fb.me/wK2fSu
Filosofi dan Makna Tembang Lir-Ilir Sunan Kalijaga Sebuah Hakikat Kehidupan
Pendahuluan
Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali songo yang terkenal. Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455 Masehi, pada waktu muda Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said selain itu disebut juga dengan nama Syekh Malaya, Lokajaya, raden Abdurrahman dan pangeran tuban[1] . Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Sunan Kalijaga sangat bersifat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka masyarakat harus didekati secara bertahap demi tahap, prinsipnya mengikuti sambil mempengaruhi. Itulah salah satu taktik dakwah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Beliau selalu memperkenalkan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/ kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami) yang telah ada sebelumnya. Beliau terkenal dengan dakwahnya yang ajarannya terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Seni suara suluk karya Sunan Kali Jaga yang terkenal salah satunya adalah tembang lir-ilir.PembahasanLagu Ilir Ilir pada zaman Kerajaan Jawa Islam sangat populer dinyanyikan sebagai tembang dholanan dikalangan anak-anak dan masyarakat di Jawa. Dalam orde lama dan orde baru nyanian ini terdaftar sebagai lagu wajib dalam lembaga-lembaga umum di Jawa timur dan Jawa Tengah. Namun pada era reformasi sekarang ini lagu tersebut jarang dinyanyikan kalangan anak-anak bahkan sudah tidak pernah lagi, Lagu ini mulai kembali digemakan baik dalam nuansa religius sebagaimana ditampilkan oleh grup musik Kiai Kanjengyang digawangi seniman dan budayawan Emha Ainun Najib maupun dalam konsep aslinya yaitu dolanan yang mulai dipopulerkan oleh grup band bernama Rich Band.Sunan Kalijaga sangat akrab ditelinga rakyat apalagi didaerah Jawa, Beliau sangat terkenal karena berbagai ciptaanya dan dakwahnya .Salah satunya menciptakan tembang seperti Tembang Rumekso in Wengidan tembang Lir Ilir. Lir-ilir merupakan salah satu tembang Jawa di gunakan Sunan Kalijaga untuk melakukan dakwah Islam di Jawa. Tembang lir-ilir tersebut berbunyi :“Lir-ilir, Lir Ilir , Tandure wus sumilir , Tak ijo royo-royo ,Tak sengguh temanten anyar, Cah Angon, Cah Angon , Penekno Blimbing Kuwi , Lunyu-lunyu penekno Kanggo Mbasuh Dodotiro, Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing, pinggir , Dondomono, Jlumatono , Mumpung Padhang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane , Yo surako surak Iyo”Tembang lir-ilir ini populer dalam berbahasa jawa karena diciptakan di Jawa, arti dalam bahasa indonesianya kurang lebih seperti ini :“Sayup-sayup, Sayup-sayup bangun (dari tidur). Tanaman-tanaman sudah mulai bersemi, demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru. Anak-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu, walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian. Pakaian-pakaian yang koyak disisihkan. Jahitlah benahilah untuk menghadap nanti sore. Selagi sedang terang rembulannya. Selagi sedang banyak waktu luang. Mari bersorak-sorak ayo”Tembang ini memiliki makna yang mendalam dan makna khusus karena tembang ini bukan tembang biasa. Jika kita dapat memaknai nya secara mendalam, tembang ini sebagai inspirasi kacamata kehidupan kita. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliaupun sering memainkannya. Dalam alinea pertamanya berbunyi “Lir-ilir-Lir-ilir, Tandure wus sumilir , ijo royo-royo,Tak sengguh temanten anyar” mempunyai makna bagunlah bukan berarti bangun dari tempat tidur. Tetapi kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas, bangun dari kebodohan tentang tidak mengenal Allah, bangun dari sifat yang buruk penyakit hati, bangun dari kesalahan-kesalahan dan hendaknya kita senantiasa mohon ampun kepada Allah dan brdzikir untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. “tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak, senggo temanten anyar”. Bait ini mengandung makna jika kita telah berdzikir kita akan mendapatkan banyak manfaat bagi kita sendiri dan menghasilkan buah makrifat atas izin Tuhannya. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya msih dalam level pertama.Selanjutnya makna Cah Angon-cah angon Penekno Blimbing Kuwi Lunyu-lunyu penekno Kanggo mbasuh dodotiro . “Cah angon” ? kenapa kata yang di pilih Sunan Kalijaga adalah cah angon, bukan presiden atau para pengusaha, ini menjadi pertanyaan besar buat kita ? Sunan Kalijaga memilih kata “cah angon” karena pada dasarnya cah angon adalah pengembala, Pengembala mempunyai makna seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah. Pengembala dalam tembang disini masksudnya dapatkah kita menggembalakan dan menahan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya dan menahan hal-hal yang membuat kita akan cenderung melakukan dosa. Kita harus menentang hawa nafsu yang dapat menejerumuskan kita ke lembah syetan yang tidak diridhoi Allah, dengan cara berpegang teguh dengan rukun Islam yang yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah yang di ibaratkan rukun islam. Jadi meskipun sulit, kita harus sekuat tenaga tetap berusaha menjalankan rukun islam yang merupakan dasar dari agama Islam meskipun banyak halangan dan rintangan. “Penekno” ? dalam bahasa indonesia adalah “panjatlah” ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk memeluk Islam dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejek para pemimpin Islam Nabi dan Rosul dalam menjalankan syari’at Islam. Walaupun dengan penuh rintangan baik harta, benda maupun tahta dan godaan lain maka kita harus tetep bertaqwa kepada Allah.“Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing pinggir”, yang maknanaya Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita hindari dan kita tinggalkan, perbaiki kehidupan dan akhlak kita, seperti merajutpakaian hingga menjadi pakaian yang indah ”karena sebaik-baik pakaian adalah pakaian bertaqwa kepada Allah.Dondomono, Jlumatono, Kanggo Sebo Mengko sore ini Pesan dari para wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu didunia baik amal baik maupun amal buruk. Maka perbaikilah dan sempurnakanlah ke-Islaman kita agar kita selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.Mumpung padhang rembulane Mumpung jembar kalangane Yo surako surak iyo!!! Selagi kita masih ada kesempatan, kita harus senantiasa mohon ampun kepada Allah, menahan hawa nafsu duniawi yang dapat menjermuskan kita, dan senantiasa bertaqwa kepada Allah sebagai bekal pertanggung jawaban kita kelak di akhirat. Begitulah, para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata kita, ketika usia masih menempel pada hayat kita ketika kita masih di beri kesehatan . Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai, senantiasa bersyukur dan menegakan syari’at Islam. Dalam firman Allah :“Mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :24)Dari uraian diatas kita melihat bagaimana Sunan Kalijaga secara jenius menerjemahkan ajaran Islam dalam rangkaian syair dan tembang pendek yang memiliki makna mendalam mengenai perlunya seseorang dalam memperhatikan hidup kita selama di dunia ini. Jangan hanya berorientasi pada keduniawian melainkan berorientasikan pada kehidupan dalam alam kekekalan yaitu akhirat. Sehingga kehidupan dunia dan akhirat harus seimbang. Sunan Kalijaga mengingatkan manusia bahwa kita mempunyai pertanggung jawaban pribadi kepada Tuhan, Karena semua perbuatan kita akan dimintai pertanggung jawaban dari kita. Sunan Kalijaga menawarkan Islam sebagai jalan dan bekal untuk menghadapi kematian dan pertanggungjawaban akhir. Dengan berbekal mengenai keislaman dengan Rukun Imannya yaitu Sahadat, Sholat, Zakat, Shaum, Haji dan senantiasa melakukan hal-hal yang baik menjauhi perbuatan buruk untuk mendapatkan kehidupan yang baik diakhirat nantiKesimpulan Tembang lir-ilir ciptaan Sunan Kalijaga ini mempunyai makna yang mendalam dan dapat menginspirasi hakikat kehidupan kita. Karena dalam tembang jawa ini mengandung unsur-unsur ajakan untuk kembali kepada Allah, senantiasa mengingat kepada Allah, dan menahan hawa nafsu agar kita tidak terjerumuskan ke lembah yang tidak di ridho’i Allah, selalu mohon ampun kepada Allah. Sunan Kalijaga juga meningatkan kepada kita bahwa perbuatan baik dan amalan menempati peran penting termasuk Sahadat, Sholat, Zakat, Haji, Puasa dalam Islam sebagai bekal yang menentukan keselamatan seseorang yang harus dibawa dan dipertanggungjawabkan saat mereka mengalami kematian kelak. Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan pesan, hendaknya manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama dalam bahasa jawa diibaratkan “urip iku sekedar mampir ngombe” yang maknanya hidup itu sementara, seyogjanya kita semua harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap ketika tiba saatnya kita semua dipanggil menghadap kehadirot Allah SWT.
*nn
Langganan:
Postingan (Atom)