Rabu, 10 Desember 2014

Tumpeng dengan Makna dan Filosofinya part II

Mungkin banyak / sebagian diantara kita yg tidak / belum mengetahui tentang Makna filosofi dari sebuah Nasi Tumpeng yg sering kita jumpai dalam keseharian kita sebagai umat Islam.
Sesuai dengan Fitrahnya, kita manusia hanya bisa berupaya/berusaha untuk selalu menjalankan segala PerintahNYA dan menjauhi segala LaranganNYA.
Dalam rangka Usaha tersebutlah sebagai umat Islam; kita WAJIB setiap langkah kaki kita mengikuti semua aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala FirmanNYA didalam Al Qur’an dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu Allaihi Wassalam.
Atas dasar hal tersebut diataslah, saya ingin sekedar berbagi tentang Makna Filosofi dari sebuah Nasi Tumpeng ini.
Banyak umat Islam khususnya di Jawa saat ini semakin tidak memahami tata-cara, guna dan makna Nasi Tumpeng yang seharusnya dibuat secara khusus beradasarkan aturan ketat. Itu sebabnya kehadiran Nasi Tumpeng saat ini tidak ‘menghadirkan’ sesuatu apapun (kejadian yang diharapkan), tanpa makna & sesuatu hal yang sia-sia.
Nasi Tumpeng sesungguhnya adalah kitab ajaran umat Hindu yang diungkapkan melalui bentuk makanan. Artinya, segala hal yang terdapat pada Nasi Tumpeng tidak lagi berupa bahasa lisan ataupun bahasa tulisan tetapi lebih merupakan “bahasa rupa bentuk” yang padat makna, dari cara pembuatan hingga penyajian harus dilakukan sesuai aturan. Artinya, jika pola tahapan pembuatan dilanggar maka sama dengan menghilangkan sebagian dari mata rantai ‘mantra-mantra’ yang berisi ajaran.
Tanda-tanda yang dilambangkan melalui peralatan memasak merupakan “peringatan” bahwa alam (lingkung kehidupan) harus tetap terjaga, hal ini mengingatkan kepada seluruh keturunan agar tetap waspada karena bangsa ini hidup di wilayah gunung berapi, dalam istilah lain diumpamakan dengan BANGSA YANG MENUNGGANGI NAGA API.

Makna tanda yang terkandung pada peralatan memasak adalah sebagai berikut;
api melambangkan matahari,
batu bata merah menandakan bumi,
dandang melambangkan gunung,
air melambangkan sumber kehidupan,
kukusan kerucut melambangkan kawah gunung berapi (yang terkandung),
kayu bakar melambangkan tumbuhan atau hutan,
dan nasi yang ada di dalamnya menandakan kesuburan dan kemakmuran.
Lambang pada perlengkapan Tumpeng:
Pengolahan Nasi Tumpeng hanya boleh dilakukan oleh kaum wanita dewasa yang dalam keadaan bersih (tidak sedang menstruasi) dan telah mensucikan diri, sedangkan kaum pria bertugas menyediakan beragam kebutuhannya. Selama tahap pembuatan, wanita tersebut tidak boleh disentuh ataupun berbicara dengan laki-laki. Hal ini tentu saja bukan tanpa maksud dan tanpa makna. Nilai “wanita suci” yang terkandung di dalam tahap mengolah tumpeng menceriterakan tentang sosok Ibu Pertiwi yang sedang menata kehidupan di bumi, khususnya mengungkapkan tentang bagaimana ia menata dan memberikan kesuburan, kemakmuran dan kejayaan kepada seluruh putra-putri Ibu Pertiwi (bangsa).
Api pada tungku dinyalakan bertepatan dengan terbitnya matahari pagi, hal ini merupakan perlambang ungkapan rasa terima-kasih atas limpahan anugrah dari Sang Hyang Widhi dalam mengawali kehidupan yang dipandu oleh waktu / cahaya. Melalui lambang Hyang Widhi yang ada di langit (matahari) itulah segala kehidupan di Bumi ini digerakan; binatang, tumbuhan, manusia, dan sebagainya memulai kegiatan mereka sesuai fungsinya masing-masing.
Setelah dandang diletakan di atas tungku perapian, lalu wanita mulai menata nyiru atau tampah berbentuk lingkaran terbuat dari anyaman bambu yang akan digunakan sebagai alas Sangu Tumpeng. Nyiru adalah bentuk perlambangan matahari atau sering disebut sebagai Sang Hyang Manon atau Sang Hyang Tunggal.
Nyiru sebagai lambang Matahari
Bagian tepi (pinggiran) nyiru diberi daun pisang manggala yang telah dibentuk segi-tiga lalu dirangkai dan disambung dengan menggunakan tusuk terbuat dari lidi pohon kawung. Susunan daun pisang manggala yang melingkar di sekeliling nyiru adalah perlambang dari sinar matahari, dan arti “manggala” sendiri adalah “yang menyampaikan hukum atau yang menguasai aturan”, sedangkan istilah kawung menjadi perlambang dari kata “Sang Suwung” (Hyang Maha Kuasa).
Nasi Tumpeng dalam pola tanda berupa gunung berwarna kuning merupakan lambang keagungan gunung Mahameru.

Maka dari itu, Nasi Tumpeng harus ditata berdasarkan pola cahaya, segala yang diletakan di atas nyiru / tampah disusun berurutan mengikuti putaran nilai waktu (cahaya) yang terbagi atas :
1. Purwa, menghadap (mengarah) ke Timur berisi ayam jantan (jenis ayam kampung).
2. Daksina, menghadap ke Selatan berisi unsur unsur-unsur pertanian dan perkebunan seperti; sayuran segar (lalab), tomat, ketimun, dst.
3. Pasima, menghadap ke Barat berisi makanan / masakan olahan tumbuhan seperti; perkedel, sambal goreng kentang, goreng tempe, sambal goreng terasi.
4. Utara, menghadap ke Utara berisi masakan olahan berdaging / satwa seperti; ikan mas, ikan asin, udang, teri, daging.
5. Madya, letaknya di pusat atau di tengah-tengah yaitu nasi kuning berbentuk gunung dan di puncaknya diletakan telur ayam kampung sebagai Cupumanik Astagina (Cupumanik Astra-Geni).
Pola susunan tersebut di atas sesungguhnya mengajarkan dan memaparkan tentang mutu cahaya (waktu dan kala / jaman) yang mempengaruhi kehidupan manusia, beserta tahap perkembangan peradabannya.
Pola Arah Susunan Tumpeng

Dalam gelar “kedewaan” (nilai cahaya / nilai waktu) kelima (5) “ruang dan waktu” (arah dan warna / cahaya) itu disebut: Sang Hyang Siwa sebagai Madya (pusat segala cahaya / segala warna), Sang Hyang Iswara sebagai Purwa yang bercahaya putih, Sang Hyang Brahma sebagai Daksina yang bercahaya merah, Sang Hyang Mahadewa sebagai Pasima bercahaya kuning, Sang Hyang Wisnu sebagai Utara bercahaya hitam. Jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Iswara / Purwa / Timur / Putih; merupakan penanda pagi hari, namun sekaligus sebagai penanda awal peradaban manusia, jaman para leluhur bangsa. Hal ini ditandai dengan keberadaan “ayam” sebagai lambang “manusia awal kehidupan”.
2. Brahma / Daksina / Selatan / Merah; merupakan penanda siang hari, namun juga sebagai penanda jaman beradab atau masa kejayaan (kemakmuran). Hal ini di tandai oleh benda-benda pertanian dan perkebunan.
3. Mahadewa / Pasima / Barat / Kuning; merupakan penanda senja hari (sore), tetapi juga sebagai penanda menurunnya masa kejayaan atau lunturnya jaman kemakmuran. Hal ini ditandai oleh bentuk makanan olahan yang tahan lama.
4. Wisnu / Utara / Utara / Hitam; merupakan penanda malam hari, yang juga menunjukan keruntuhan kejayaan manusia atau kehancuran peradaban manusia untuk menyelamatkan kehidupan mahluk-mahluk lain (non-manusia) di Bumi. Hal ini ditandai dengan masakan olahan (hewani).
5. Siwa / Madya / Pusat / Tengah; adalah penanda penguasa waktu / era / jaman yang mengembalikan segala kehidupan di Bumi seperti pada mulanya, jaman sebelum manusia menguasai (merusak) planet Bumi. Penanda atas hal ini adalah dengan adanya “telur” (Cupumanik Astagina) di puncak Nasi Tumpeng.
Melihat segi pemaknaan pada susunan pola cahaya (kedewaan) maka Nasi Tumpeng diberi warna “kuning” itu mengandung pengertian “status jaman”, bahwa kehidupan di muka Bumi ini telah memasuki masa menurunnya kejayaan atau lunturnya era kemakmuran. Namun akibat ketidak-pahaman masyarakat jaman sekarang terhadap pola tanda ajaran leluhur (Hindu), maka masyarakat modern beranggapan bahwa warna “kuning” itu diumpamakan sebagai “emas” (lambang kejayaan) padahal nilai makna tersebut kaitannya terlalu erat dengan nilai ekonomi bahkan mungkin “kapitalisme” sedangkan Nasi Tumpeng secara mendasar lebih condong mengarah kepada persoalan ruang, waktu dan kejadian.
Melihat situasi dan kondisi kehidupan pada saat ini, maka bukan tidak mungkin jika Nasi Tumpeng yang se-HARUS-nya dibuat di jaman sekarang adalah berwarna “hitam” (dibuat dari beras hitam) sebagai penanda tiba masanya memasuki jaman Wisnu / Utara / Hitam.

Wallahu ‘alam.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar