Mungkin banyak / sebagian diantara kita yg tidak / belum mengetahui
tentang Makna filosofi dari sebuah Nasi Tumpeng yg sering kita jumpai
dalam keseharian kita sebagai umat Islam.
Sesuai dengan Fitrahnya,
kita manusia hanya bisa berupaya/berusaha untuk selalu menjalankan
segala PerintahNYA dan menjauhi segala LaranganNYA.
Dalam rangka
Usaha tersebutlah sebagai umat Islam; kita WAJIB setiap langkah kaki
kita mengikuti semua aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala
FirmanNYA didalam Al Qur’an dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Shalallahu Allaihi Wassalam.
Atas dasar hal tersebut diataslah, saya ingin sekedar berbagi tentang Makna Filosofi dari sebuah Nasi Tumpeng ini.
Banyak umat Islam khususnya di Jawa saat ini semakin tidak memahami
tata-cara, guna dan makna Nasi Tumpeng yang seharusnya dibuat secara
khusus beradasarkan aturan ketat. Itu sebabnya kehadiran Nasi Tumpeng
saat ini tidak ‘menghadirkan’ sesuatu apapun (kejadian yang diharapkan),
tanpa makna & sesuatu hal yang sia-sia.
Nasi Tumpeng
sesungguhnya adalah kitab ajaran umat Hindu yang diungkapkan melalui
bentuk makanan. Artinya, segala hal yang terdapat pada Nasi Tumpeng
tidak lagi berupa bahasa lisan ataupun bahasa tulisan tetapi lebih
merupakan “bahasa rupa bentuk” yang padat makna, dari cara pembuatan
hingga penyajian harus dilakukan sesuai aturan. Artinya, jika pola
tahapan pembuatan dilanggar maka sama dengan menghilangkan sebagian dari
mata rantai ‘mantra-mantra’ yang berisi ajaran.
Tanda-tanda yang
dilambangkan melalui peralatan memasak merupakan “peringatan” bahwa alam
(lingkung kehidupan) harus tetap terjaga, hal ini mengingatkan kepada
seluruh keturunan agar tetap waspada karena bangsa ini hidup di wilayah
gunung berapi, dalam istilah lain diumpamakan dengan BANGSA YANG
MENUNGGANGI NAGA API.
Makna tanda yang terkandung pada peralatan memasak adalah sebagai berikut;
api melambangkan matahari,
batu bata merah menandakan bumi,
dandang melambangkan gunung,
air melambangkan sumber kehidupan,
kukusan kerucut melambangkan kawah gunung berapi (yang terkandung),
kayu bakar melambangkan tumbuhan atau hutan,
dan nasi yang ada di dalamnya menandakan kesuburan dan kemakmuran.
Lambang pada perlengkapan Tumpeng:
Pengolahan Nasi Tumpeng hanya boleh dilakukan oleh kaum wanita dewasa
yang dalam keadaan bersih (tidak sedang menstruasi) dan telah mensucikan
diri, sedangkan kaum pria bertugas menyediakan beragam kebutuhannya.
Selama tahap pembuatan, wanita tersebut tidak boleh disentuh ataupun
berbicara dengan laki-laki. Hal ini tentu saja bukan tanpa maksud dan
tanpa makna. Nilai “wanita suci” yang terkandung di dalam tahap mengolah
tumpeng menceriterakan tentang sosok Ibu Pertiwi yang sedang menata
kehidupan di bumi, khususnya mengungkapkan tentang bagaimana ia menata
dan memberikan kesuburan, kemakmuran dan kejayaan kepada seluruh
putra-putri Ibu Pertiwi (bangsa).
Api pada tungku dinyalakan
bertepatan dengan terbitnya matahari pagi, hal ini merupakan perlambang
ungkapan rasa terima-kasih atas limpahan anugrah dari Sang Hyang Widhi
dalam mengawali kehidupan yang dipandu oleh waktu / cahaya. Melalui
lambang Hyang Widhi yang ada di langit (matahari) itulah segala
kehidupan di Bumi ini digerakan; binatang, tumbuhan, manusia, dan
sebagainya memulai kegiatan mereka sesuai fungsinya masing-masing.
Setelah dandang diletakan di atas tungku perapian, lalu wanita mulai
menata nyiru atau tampah berbentuk lingkaran terbuat dari anyaman bambu
yang akan digunakan sebagai alas Sangu Tumpeng. Nyiru adalah bentuk
perlambangan matahari atau sering disebut sebagai Sang Hyang Manon atau
Sang Hyang Tunggal.
Nyiru sebagai lambang Matahari
Bagian
tepi (pinggiran) nyiru diberi daun pisang manggala yang telah dibentuk
segi-tiga lalu dirangkai dan disambung dengan menggunakan tusuk terbuat
dari lidi pohon kawung. Susunan daun pisang manggala yang melingkar di
sekeliling nyiru adalah perlambang dari sinar matahari, dan arti
“manggala” sendiri adalah “yang menyampaikan hukum atau yang menguasai
aturan”, sedangkan istilah kawung menjadi perlambang dari kata “Sang
Suwung” (Hyang Maha Kuasa).
Nasi Tumpeng dalam pola tanda berupa gunung berwarna kuning merupakan lambang keagungan gunung Mahameru.
Maka dari itu, Nasi Tumpeng harus ditata berdasarkan pola cahaya,
segala yang diletakan di atas nyiru / tampah disusun berurutan mengikuti
putaran nilai waktu (cahaya) yang terbagi atas :
1. Purwa, menghadap (mengarah) ke Timur berisi ayam jantan (jenis ayam kampung).
2. Daksina, menghadap ke Selatan berisi unsur unsur-unsur pertanian dan
perkebunan seperti; sayuran segar (lalab), tomat, ketimun, dst.
3.
Pasima, menghadap ke Barat berisi makanan / masakan olahan tumbuhan
seperti; perkedel, sambal goreng kentang, goreng tempe, sambal goreng
terasi.
4. Utara, menghadap ke Utara berisi masakan olahan berdaging / satwa seperti; ikan mas, ikan asin, udang, teri, daging.
5. Madya, letaknya di pusat atau di tengah-tengah yaitu nasi kuning
berbentuk gunung dan di puncaknya diletakan telur ayam kampung sebagai
Cupumanik Astagina (Cupumanik Astra-Geni).
Pola susunan tersebut di
atas sesungguhnya mengajarkan dan memaparkan tentang mutu cahaya (waktu
dan kala / jaman) yang mempengaruhi kehidupan manusia, beserta tahap
perkembangan peradabannya.
Pola Arah Susunan Tumpeng
Dalam
gelar “kedewaan” (nilai cahaya / nilai waktu) kelima (5) “ruang dan
waktu” (arah dan warna / cahaya) itu disebut: Sang Hyang Siwa sebagai
Madya (pusat segala cahaya / segala warna), Sang Hyang Iswara sebagai
Purwa yang bercahaya putih, Sang Hyang Brahma sebagai Daksina yang
bercahaya merah, Sang Hyang Mahadewa sebagai Pasima bercahaya kuning,
Sang Hyang Wisnu sebagai Utara bercahaya hitam. Jelasnya dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Iswara / Purwa / Timur / Putih; merupakan
penanda pagi hari, namun sekaligus sebagai penanda awal peradaban
manusia, jaman para leluhur bangsa. Hal ini ditandai dengan keberadaan
“ayam” sebagai lambang “manusia awal kehidupan”.
2. Brahma / Daksina
/ Selatan / Merah; merupakan penanda siang hari, namun juga sebagai
penanda jaman beradab atau masa kejayaan (kemakmuran). Hal ini di tandai
oleh benda-benda pertanian dan perkebunan.
3. Mahadewa / Pasima /
Barat / Kuning; merupakan penanda senja hari (sore), tetapi juga sebagai
penanda menurunnya masa kejayaan atau lunturnya jaman kemakmuran. Hal
ini ditandai oleh bentuk makanan olahan yang tahan lama.
4. Wisnu /
Utara / Utara / Hitam; merupakan penanda malam hari, yang juga
menunjukan keruntuhan kejayaan manusia atau kehancuran peradaban manusia
untuk menyelamatkan kehidupan mahluk-mahluk lain (non-manusia) di Bumi.
Hal ini ditandai dengan masakan olahan (hewani).
5. Siwa / Madya /
Pusat / Tengah; adalah penanda penguasa waktu / era / jaman yang
mengembalikan segala kehidupan di Bumi seperti pada mulanya, jaman
sebelum manusia menguasai (merusak) planet Bumi. Penanda atas hal ini
adalah dengan adanya “telur” (Cupumanik Astagina) di puncak Nasi
Tumpeng.
Melihat segi pemaknaan pada susunan pola cahaya (kedewaan)
maka Nasi Tumpeng diberi warna “kuning” itu mengandung pengertian
“status jaman”, bahwa kehidupan di muka Bumi ini telah memasuki masa
menurunnya kejayaan atau lunturnya era kemakmuran. Namun akibat
ketidak-pahaman masyarakat jaman sekarang terhadap pola tanda ajaran
leluhur (Hindu), maka masyarakat modern beranggapan bahwa warna “kuning”
itu diumpamakan sebagai “emas” (lambang kejayaan) padahal nilai makna
tersebut kaitannya terlalu erat dengan nilai ekonomi bahkan mungkin
“kapitalisme” sedangkan Nasi Tumpeng secara mendasar lebih condong
mengarah kepada persoalan ruang, waktu dan kejadian.
Melihat situasi
dan kondisi kehidupan pada saat ini, maka bukan tidak mungkin jika Nasi
Tumpeng yang se-HARUS-nya dibuat di jaman sekarang adalah berwarna
“hitam” (dibuat dari beras hitam) sebagai penanda tiba masanya memasuki
jaman Wisnu / Utara / Hitam.
Wallahu ‘alam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar