Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa atau sabtu. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).
PERSYARATAN :
1. Bubur 7 macam :
Kombinasi
7 macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi putih,
(4) putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah
disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan
kelapa dan sisiran gula jawa).
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga.
Bahan: Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula jawa); Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;
2. Gudangan Mateng (sayurnya direbus) :
Bahan
; Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang
panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran
direbus.
Bumbu gudangannya pedas.
3. Nasi Megono ; Nasi dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.
4. Jajan Pasar ; biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.
5. Rujak ; bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6. Ampyang ; ampyang kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7. Aneka Ragam Kolo ;
Kolo
kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo
merambat (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela,
pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing
jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja.
Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang tanah.
Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ;
yakni cangelo; kacang tanah + ketela (ubi jalar).
8. Ketan ; dikukus lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau, coklat, kuning.
9. Tumpeng nasi putih; kira-kira cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang.
10. Telur ; telur ayam 7 butir.
11. Pisang ; pisang raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.
12. Tumpeng tujuh macam warna; tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai.
TATA CARA
Tumpeng ditaruh di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya tumpeng dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang. Sisa potongan daun pisang diletakkan di antara cobek dan pantat kalo.
Sayur
7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu
gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung
atau ayam petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan
mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk
tumpeng dikasih sate yang berisi ; cabe merah, bawang merah,
telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal.
(urutan ini dari bawah ke atas; lihat gambar).
Tusuk
satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari
bawah; cabe merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur
kupas utuh, bawang merah lagi, paling atas cabe merah besar posisi
vertikal.
Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.
Tambirnya juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.
Tumpeng
tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar.
Boleh diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.
Setelah
ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh
dengan tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan
toleransi dalam ajaran Jawa.
Berikut ini contoh doa menurut tradisi Jawa;
Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu);
“Niat
ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing
sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul
dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen
lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka
kersaning Gusti Allah.
Apabila
orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan
surat Maryam atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan
hati nurani. Jika feeling anda ingin membaca surat Maryam,
biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca surat Yusuf,
biasanya jabang bayi lahir laki-laki.
Dalam
tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi.
Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila
tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.
Akan
tetapi karna teknologi medis sudah sedemikian canggih, sampai ditemukan
USG empat dimensi, jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.
Acara
mitoni atau tingkeban yang dipaparkan di atas adalah tatacara
sederhana. Akan tetapi bukan berarti tidak absah, hanya tidak lengkap
saja. Sedangkan tatacara yang lengkap yang biasanya masih dilakukan di
kraton-kraton dan masyarakat Jawa yang masih kuat memegang tradisi.
Rangkaian acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu;
1. Siraman ( pemandian calon ibu)
2. Pendandanan calon ibu
3. Angreman
Tempat, berbagai barang/ubarampe termasuk sesaji, hendaknya sudah tersedia lengkap
Upacara Siraman
Biasanya pelaksanaan siraman diadakan dikamar mandi atau ditempat khusus yang dibuat untuk siraman, dihalaman belakang atau samping rumah. Siraman
berasal dari kata siram artinya mandi. Pada saat mitoni adalah
pemandian untuk sesuci lahir batin bagi calon ibu/orang tua beserta bayi
dalam kandungan. Yang baku, di tempat siraman ada bak/tempat air yang
telah diisi air yang berasal dari tujuh sumber air yang dicampur dengan
bunga sritaman, yang terdiri dari mawar,melati, kenanga dan
kantil. Dipagi hari atau sore hari yang cerah, ada terdengar alunan
suara gamelan yang semarak, mengiringi pelaksaan siraman.
Didepan
tempat siraman yang disusun apik, duduk calon kakek, calon nenek dan
ibu-ibu yang akan ikut memandikan.Mereka semua berpakaian tradisional
Jawa, bagus, rapi. Tentu saja sisaksikan oleh para undangan yang hadir
untuk menyaksikan dan memberi restu kepada calon ibu. Calon ibu dengan
berpakaian kain putih yang praktis, tanpa mengenakan asesoris seperti
gelang, kalung, subang dsb, datang ketempat siraman dengan diiringi oleh
beberapa ibu. Dia langsung didudukkan diatas sebuah kursi yang dialasi
dan dihias dengan sebuah tikar tua, maksudnya orang wajib bekerja sesuai
kemampuannya dan dedauanan seperti : opok-opok, alang-alang, oro-oro, dadap srep, awar-awar yang melambangkan keselamatan dan daun kluwih sebagai perlambang kehidupan yang makmur.
Orang
pertama yang mendapat kehormatan untuk memandikan adalah calon kakek,
kemudian calon nenek dan disusul oleh beberapa ibu yang sudah punya
cucu. Sesuai kebiasaan, jumlah yang memandikan adalah tujuh orang.
Diambil perlambang positifnya, yaitu tujuh, bahasa Jawanya pitu, supaya memberi pitulungan, pertolongan.
Sesudah
selesai dimandikan dengan diguyur air suci, terakhir dikucuri air suci
dari sebuah kendi sampai airnya habis. Kendi yang kosong dibanting
ketanah. Dilihat bagaimana pecahnya. Kalau paruh atau corot kendi tidak
pecah, hadirin ramai-ramai berteriak : Lanang! Artinya bayi yang akan lahir laki-laki. Apabila pecah, yang akan lahir wadon, perempuan.
Perlu diketahui bahwa suasana selama pelaksanaan siraman adalah sakral tetapi riang.
Pada
masa kini, upacara siraman dipandu oleh seorang ibu yang profesional
dalam bidangnya, disertai seorang M.C. sehingga upacara berjalan runut, lancar dan bagus.
Peluncuran tropong
Ada kalanya, sesudah selesai pecah kendi, sebuah tropong,
alat tenun dari kayu diluncurkan kedalam kain tekstil yang mempunyai
tujuh warna. Ini perlambang kelahiran bayi dengan lancar dan selamat.
Peluncuran tropong, pada masa kini jarang sekali dilakukan.
Siraman gaya Mataraman
Siraman
gaya Mataraman atau Yogyakarta kuno, sekarang boleh dibilang tidak
dilakukan lagi. Pada siraman tersebut yang dimandikan tidak hanya calon
ibu, tetapi jugas calon ayah, secara berbarengan.
Pendandanan calon ibu
Di
sebuah ruangan yang telah disiapkan untuk upacara pendandanan, beberapa
ibu dengan disaksikan hadirin, mendandani calon ibu dengan beberapa
motif kain batik dan lurik. Ada 6 (enam) motif kain batik, antara lain
motif kesatrian, melambangkan sikap satria; wahyu tumurun, yaitu wahyu yang menurunkan kehidupan mulia, sidomukti, maksudnya hidup makmur, sidoluhur-berbudi luhur dsb.
Satu per satu kain batik itu dikenakan, tetapi tidak ada yang sreg, sesuai. Lalu yang ketujuh dikenakan kain lurik bermotif lasem, dengan semangat para hadirin berseru : Ya, ini cocok! Lurik adalah bahan yang sederhana tetapi kuat, motif lasem mewujudkan perajutan kasih yang bahagia, tahan lama. Begitulah perlambang positif dari upacara pendandanan.
Lurik
yang dikenakan calon ibu tersebut diikat dengan tali yang terdiri dari
benang dan anyaman daun kelapa. Tali itu dipotong oleh calon ayah dengan
menggunakan sebilah keris yang ujungnya ditutup kunyit. Ini perlambang
bahwa semua kesulitan yang dihadapi keluarga, akan diatasi oleh sang
ayah.
Sesudah
memotong tali, sang ayah mengambil tiga langkah kebelakang, membalikkan
badan dan lari keluar. Ini melambangkan kelahiran yang lancar dan
selamat, bagi bayi dan ibu.
Brojolan
Dua buah kelapa gading diluncurkan kedalam kain lurik yang dipakai calon ibu. Kedua kelapa tersebut jatuh diatas tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan kelahiran yang lancar dan selamat. Kedua buah kelapa gading itu diukir dengan gambar Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, sepasang dewa dewi yang cantik, bagus rupanya dan baik hatinya. Artinya tokoh, figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam menjalani kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur dan mapan lahir batin.
Dua buah kelapa gading diluncurkan kedalam kain lurik yang dipakai calon ibu. Kedua kelapa tersebut jatuh diatas tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan kelahiran yang lancar dan selamat. Kedua buah kelapa gading itu diukir dengan gambar Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, sepasang dewa dewi yang cantik, bagus rupanya dan baik hatinya. Artinya tokoh, figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam menjalani kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur dan mapan lahir batin.
Calon
ayah mengambil salah satu kelapa tersebut dan memecahnya dengan
menggunakan golok. Kalau kelapa itu pecah jadi dua, hadirin berseru : Wadon, perempuan. Kalau kelapa itu airnya menyembur keluar, hadirin berteriak riang : Lanang,
lelaki. Anak yang dilahirkan putra atau putri, sama saja, tetap akan
diasuh, dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih dan tanggung
jawab. Kelapa yang satunya, yang masih utuh, diambil, lalu dengan
diemban oleh calon nenek, ditaruh ditempat tidur calon orang tua.
Angreman
Angreman
dari kata angrem artinya mengerami telur. Calon orang tua duduk diatas
tumpukan kain yang tadi dipakai, seolah mengerami telur, menunggu waktu
sampai bayinya lahir dengan sehat selamat. Mereka mengambil beberapa
macam makanan dari sesaji dan ditaruh disebuah cobek. Mereka makan bersama sampai habis. Cobek itu menggambarkan ari-ari bayi.
Perlu diperhatikan bahwa untuk ritual angreman
gaya Yogyakarta, sesajinya tidak ada yang berupa daging binatang yang
dipotong. Ini memperkuat doa kedua calon orang tua supaya bayi mereka
lahir dengan selamat.
Kelapa
dan tumpukan kain-kain itu berada diatas tempat tidur kedua calon
orang tua. Ini latihan kesabaran bagi keduanya sewaktu menjaga dan
merawat bayi.
Dipagi harinya, calon ayah memecah kelapa tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi kalau dipagi hari ada seorang wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa itu harus diberikan. Lalu wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Hal ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan.
Dipagi harinya, calon ayah memecah kelapa tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi kalau dipagi hari ada seorang wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa itu harus diberikan. Lalu wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Hal ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan.
Asal usul Mitoni atau Tingkeban
Ritual mitoni atau tingkeban telah ada sejak zaman kuno. Menurut penuturan yang diceritakan secara turun temurun, asal usulnya sebagai berikut :
Sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Satingkeb,
pernah punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur
panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak orang pintar, dukun,
tetapi belum juga berhasil. Karena sudah tak tahan lagi mengahadapi
derita berat dan panjang, kedua suami istri itu memberanikan diri
memohon pertolongan dari Jayabaya, sang ratu yang terkenal sakti dan
bijak. Raja Jayabaya yang bijak dan yang sangat dekat dengan rakyatnya,
dengan senang hati memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita.
Beginilah sikap ratu masa dahulu.
Kedua suami istri, dinasihati supaya melakukan ritual, caranya : Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti Allah, selalu berbuat yang baik dan suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus mensucikan diri, manembah kepada Allah, dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir batin. Sesudah itu memohon kepada Gusti
Allah, apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan
kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk
penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah Gusti Allah.
Rupanya, Allah memperkenankan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban.*) semoga bermanfaat .....
# Oleh: ki puser langit JAVANESE TRADITION
Tidak ada komentar:
Posting Komentar