Rabu, 10 Desember 2014

FILOSOFI ALAT PERTANIAN

Sunan Kalijaga mengajar petani dengan filsafat luku dan pacul, semua bagiannya mempunyai makna keagamaan yang dalam.Inilah cara wali mengajarkan kepada wong tani dengan kearifan lokal,sesuai dengan pengetahuan mereka.
Bagi wong tani, penemuan alat baru dibidang pertanian merupakan anugerah yang patut dipelajari dan diikuti. Sebab peralatan baru itu pasti memberikan fasilitas kemudahan bagi para petani untuk bekerja lebih efisien, yaitu mudah dan murah, tetapi dengan hasil yang banyak.Salah satunya adalah penemuan luku (bajak) dan pacul (cangkul), yang konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.
Soal penemuan bendanya bisa diperdebadkan, bisa saja kedua benda ini lebih dulu ditemukan sebelum lahirnya Sunan Kalijaga.Tetapi dalam hal ini, beliaulah yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai orang yang memberikan tafsir terhadap ajaran filsafat tentang luku dan pacul dengan segala maknanya.Dengan begitu, orang Jawa menganggap Sunan Kalijaga sebagai penemu luku dan pacul.
Sebelum ditemukan alat luku dan pacul ini, petani kuno menggunakan hewan, biasanya kerbau untuk menginjak-injak tanah sebelum ditanami benih padi. Hal seperti ini pernah terjadi ketika banyak petani Timor Timur pada tahun 1970-an yang belajar pertanian di pedesaan Jawa. Mereka menceritakan bahwa di daerahnya sebelum menggunakan luku dan pacul, mereka mengolah sawah menggunakan kerbau yang digiring atau berlari-lari di area sawah. Setelah terbajak, baru sawah tersebut ditanami benih padi. Begitu juga, mungkin yang dilakukan petani pada abad ke-15 sebelum ditemukan luku dan pacul.
Konon, dalam cerita rakyat itu, banyak petani di tanah Jawa yang kemudian ngangsu kaweruh (mencari ilmu) ke Demak, khususnya ke Kadilangu, tempat kediaman Sunan Kalijaga. Kanjeng Sunan memberikan penjelasan tentang fungsi kedua alat ini secara teknis, juga ditambahi dengan berbagai makna lambang filsafah dari bagian-bagian luku dan pacul. Ajaran-ajaran itu kemudian dituturkan kepada para petani secara turun temurun.
Ajaran Sunan Kalijaga tentang pertanian, khususnya tafsir terhadap alat luku dan pacul merupakan ajaran yang diikuti wong tani secara turun temurun. Tentang luku umpamanya, Kanjeng Sunan memberikan makna simbolis dan bagian-bagiannya yang mengandung ajaran-ajaran dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Luku mempunyai bagian-bagian tertentu yang saling berhubungan dan menyatu, sehingga menjadikan alat itu fungsional secara efisien dan efktif. Pertama, cekelan atau pegangan. Maksudnya, manusia hidup harus memiliki pegangan atau sebagai pedoman hidup. Bagi para murid Sunan kala itu, pedoman hidup itu adalah kepercayaan kepada Allah SWT dan mengikuti syariat Allah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yaitu agama Islam. Karena itulah, banyak petani Jawa yang kemudian beralih agama ke islam.
Kedua, pancadan atau tumpuan. Maksud simbol benda ini adalah amalan. Semua ilmu atau pengetahuan itu harus diamalkan.dalam ajaran agama islam, setiap orang yang telah mengetahui ilmu atau pengetahuan agama harus mengamalkannya. Ada anjuran pula, ”Sampaikanlah ilmu yang kamu dapat dari Al-Qur’an meski hanya satu ayat.” Jadi, pedoman hidup yang dimiliki itu harus diamalkan dan disampaikan kepada orang lain, sehingga kita tidak disebut jarkoni (bisa ngajar,ora bisa nglakoni).
Ketiga, tandhing atau pasak. Maksudnya adalah membanding-bandingkan. Disini bukan dalam arti iri dengki, melainkan ilmu perbandingan (komparasi) merupakan sarana bisa memutuskan secara tepat, apa pilihan yang terbaik dari berbagai macam pilihan yang ada. Kita memiliki pedoman hidup sendiri, tentu saja ada pedoman hidup lain diluar kita, maka pasti akan muncul perbandingan. Perbandingan inilah yang kemudian membuat orang Jawa yang pada waktu itu mengikuti ajaran-ajaran islam yang disampaikan Sunan Kalijaga, meninggalkan ajaran-ajaran atau pedoman hidup sebelumnya. Karena ajaran atau pedoman hidup yang baru itu ternyata lebih cocok dari pada pedoman sebelumnya.
Keempat, singkal atau alat pembalik tanah. Singkal ini diartikan secara singkat dengan makna sing sugih akal (kaya atau luas pemikirannya). Jadi, seorang petani tidak boleh lekas menyerah pada nasib atau fatalis, tetapi harus bekerja keras dan berpikir cerdas, kreatif untuk mengolah sawah dengan pengelolaan (manajemen) serta alat baru (inovasi), sehingga menghasilkan kerja yang lebih baik. Penemuan alat-alat baru di bidang pertanian saat ini, seperti benih unggul, pupuk,mesin-mesin pertanian dsb tidak lepas dari peran petani sendiri serta ilmuwan sing sugih akal. Begitu juga didalam kehidupan, selain tetap berpedoman pada agama, kita juga perlu menambah ilmu pengetahuan. Sebab, agama tanpa ilmu akan menjadi lumpuh, sebaliknya ilmu tanpa agama akan menjadi buta.
Kelima, kajen atau mata singkal. Kata ini berasal dari keijen, artinya menuju kepada yang satu.Yaitu, satunya pikiran, bulatnya tekad menuju satu tujuan atau cita-cita. Dalam bernegara, umpamanya bertujuan “baldhatun thoyyibatun warabbun ghafur” . (Negara yang makmur sejahtera dibawah naungan dan ampunan Allah), atau bahasa dalang, tata titi tentrem karta raharja ,gemah ripah loh jinawi.
Keenam, olang-aling atau penghalang. Dalam menempuh suatu tujuan atau cita-cita, pasti ada ujian atau halangan yang merintangi. Tuhan berfirman, orang yang beriman itu bukan orang yang tidak pernah diuji, orang yang beriman dan dicintai Allah justru orang-orang yang banyak ujiannya. Ujian, kendala atau rintangan selalu ada di hadapan perjalanan hidup manusia. Karena itulah manusia diwajibkan berikhtiar, berusaha dan harus sing sugih akal. Manusia tidak boleh menyerah kepada nasib, thenguk-thenguk nemu kethuk. Berharap sesuatu tanpa kerja. Kita bisa mengatakan sugih tanpa bhanda, kaya tanpa harta. Tetapi kita tidak bisa mengatakan ”kaya tanpa kerja” sebab ujian kaya adalah bekerja. Intinya, bagaimana wong tani tersebut menghadapi setiap peluang itu menjadi keuntungan, dan akhirnya keuntungan itu menjadi keagungan di dunia akhirat.
Bagian yang terakhir, racuk atau ujung luku. Diambil dari kata arah pucuk, yaitu arah depan dan atas. Artinya, setiap menghadapi penghalang tadi, kita harus sabar, tawakal, dan ikhlas, kendati tidak pernah melepaskan apa yang sedang menjadi cita-cita kita.
Dalam tulisan di atas,Sunan Kalijaga dianggap sebagai penemu luku, yang memaknai simbol-simbol alat bajak itu sebagai ajaran hidup bagi wong tani. Begitu juga Kanjeng Sunan dipercayai sebagai penemu pacul dan luku.
Penemuan alat pacul yang dinisbahkan kepada Sunan Kalijaga masih diperdebatkan, tetapi pengakuan ini didasarkan seperti pada kasus wayang kulit. Cerita wayang serta peraganya sudah lama ditemukan orang Jawa, tetapi Sunan Kalijaga mampu membesut cerita wayang ini menjadi bernapas islam serta dengan penampilan yang baru dan falsafah baru, sehingga beliaulah yang dianggap penemu wayang kulit.
Begitulah, bisa jadi pacul sudah lama ditemukan sebelum Sunan Kalijaga, tetapi makna simbolis pacul, sehingga memuat ajaran agung adalah hasil kreatifitas Sunan Kalijaga. Sudah menjadi strategi dakwah Sunan Kalijaga bahwa beliau menggunakan cara tapa ngeli. Ngeli tapi ora keli. Maksudnya tetap mengikuti ombak kehidupan masyarakat, tetapi beliau memberikan makna baru kepada arus zaman itu.
Begitulah, Islam diajarkan lewat perlambang alat-alat pertanian. Dengan begitu, mereka akan lebih dekat pengertiannya terhadap agama Islam.Kanjeng Sunan sadar, agama Islam datang dari negeri Arab, kitabnya juga memakai bahasa Arab, shalatnya juga memakai bahasa Arab. Itu mungkin sangat menyulitkan pengikut baru yang sebelumnya sudah biasa dengan ajaran lama menggunakan bahasa Jawa. Dalam kaidah islam, prinsip itu “Tetap mengikuti tradisi lama yang baik, tetapi akan memakai tradisi baru kalau tradisi itu terbukti lebih baik lagi,”
Karena itulah, ketika menjadi mubaligh keliling, sehingga mendapat gelar Sunan Malaya, Kanjeng Sunan harus menggunakan berbagai cara, sehingga rakyat paham apa itu Islam, dengan tidak mencabut budaya lama yang telah mereka terapkan. Ini terbukti, tidak hanya luku dan pacul yang diberikan makna filosofi kehidupan, tetapi benda-benda lain juga diberikan makna yang selaras dengan pengertian masyarakat.
Kentongan umpamanya. Oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, suara kentongan itu diberi makna tertentu. Suara”tong tong tong” artinya, ”Hai masjidnya masih kosong !! . Karena itu, kalau mendengar kentongan, lekas datang ke masjid atau mushala. Lebih lanjut lagi kentongan sekarang bertambah fungsi menjadi alat ronda di pedesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar